BAB I
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Konstruktivisme
Constructivism is a theory of knowledge (epistemology) that argues that humans generate knowledge and
meaning from an interaction between their experiences and their ideas.[1]
Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang
memiliki anggapan bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi (bentukan)
manusia itu sendiri. Manusia menkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi
mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu
pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi
dan memecahkan persoalan yang sesuai[2].
Paradigma konstruktifisme memandang realitas sosial yang
diamati oleh seseorang tidak adapat digenerasikan pada semua orang yang biasa
dilakukan oleh kaum positifme. Paradigma konstruktifisme menilai perilaku
manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena manusia
bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik
itu melalui pemberian makna ataupun pemahaman perilaku dikalangan mereka
sendiri.[3]
Paradigma konstruksifisme memberikan alternatif paradigma
dalam mencari kebenaran tentang realitas sosial sekaligus menandai terjadinya
pergeseran model rasionalitas praktis yang menekankan peranan contoh dan
interprestasi mental.[4]
Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat
ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain dan tidak dapat
digenerasikan ( disamaratakan ) pada semua orang seperti halnya teori bejana
akan tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh tiap-tiap orang. Pengetahuan bukan
sesuatu yang sudah jadi tetapi merupkan suatu proses yang berkembang
terus-menerus.
Dengan demikian paradikma konstruktif memandang kebenaran
tentang sesuatu realitas bersifat relatif atau kebenaran tergantung pada
individu pelaku sosial, dan hasil interaksi dari sesama pelaku.
B.
Asal Mula dan
Perkembangan Paham Kontruktifisme
Asal mula paham konstruktivisme, menurut Mark Baldwin yang secara luas
diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun sebenarnya gagasan pokok
konstruktivisme sudah dimulai oleh Gimbatissta Vico, epistemology dari Italia.
Dialah cikal bakal konstruktivisme. Pada tahun 1970, Vico dalam De Antiquissima
Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah
pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Dia menjelaskan
bahwa “mengetahui” berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu.’ Bagi Vico
pengetahuan lebih menekankan pada struktur konsep yang dibentuk.[5]
Sekian lama gagasannya tidak dikenal orang dan seakan
hilang. Kemudian Jean Piagetlah yang mencoba meneruskan estafet gagasan
konstruktivisme, terutama dalam proses belajar. Gagasan Piaget ini lebih cepat
tersebar dan berkembang melebihi gagasan Vico.
Piaget. J. Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan
filsafat konstruktivisme dalam proses belajar. Menurut Wadsworth (1989) teori
perkembangan intelektual Piaget dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang
biologi. Teori pengetahuan Piaget adalah teori adaptasi kognitif. Seperti
setiap organisme selalu beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat
mempertahankan dan memperkembangkan hidup, demikian juga struktur pemikiran
manusia. Berhadapan dengan pengalaman, tantangan, gejala dan skema pengetahuan
yang telah dipunyai seseorang ditantang untuk menanggapinya. Dan dalam
menanggapi pengalaman-pengalaman baru itu skema pengalaman seseorang dapat
terbentuk lebih rinci, dapat pula berubah total. Bagi Piaget, pengetahuan
selalu memerlukan pengalaman, baik pengalaman fisis maupun pengalaman mental.
Maddux,
Cleborne D., Johnson, D. LaMont dalam tulisannya mengenai teori konstruktivis
membagi paham konstruktivis kedalam dua aliran, yaitu paham konstruktivis
kognitif dan paham konstruktivis sosial (cognitive
constructivism and social constructivism). Konstruktivis kognitif
didasarkan pengembangan yang dibuat oleh ahli psikologi perkembangan Swiss,
Piaget. Teori Piaget ini mengandung dua unsur pokok yaitu : umur dan tahap
perkembangan. Melalui kedua unsur ini bisa diprediksi apa yang bisa dan tidak
bisa dilakukan oleh seorang anak berdasarkan umurnya, serta teori perkembangan
yang menjelaskan bagaimana seorang anak membangun kemampuan kognitivnya.[6]
Teori
konstruktivis sosial dibangun berdasarkan pengembangan yang dibuat oleh Lev
Vygotsky. Vygotsky menekankan pada lingkungan sosial yang ikut membantu
perkembangan seorang anak. Bagi Vygotsky, budaya sangat berpengaruh sekali
dalam membentuk struktur kognitiv anak. Yang membantu perkembangan anak bukan
hanya guru, tetapi juga anak-anak yang lebih ‘dewasa’. [7]
C.
Pengaruh Filsafat Konstruktivisme Dalam
Pendidikan
Sebenarnya prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak
digunakan dalam pendidikan. Secara umum prinsip-prinsip itu berperan sebagai
referensi dan alat refleksi kritis terhadap praktek, pembaruan dan perencanaan
pendidikan.
Prinsip-prinsip yang diambil dari konstruktivisme adalah :
a.
Pengetahuan dibangun oleh peserta didik
secara aktif.
b.
Tekanan dalam proses belajar terletak
pada peserta didik.
c.
Mengajar adalah membantu peserta didik
belajar.
d.
Tekanan dalam proses belajar lebih pada
proses, bukan hasil.
e.
Kurikulum menekankan partisipasi
peserta didik.
f.
Guru adalah fasilitator.
Constructivism's
central idea is that human learning is constructed, that learners build new
knowledge upon the foundation of previous learning. This view of learning
sharply contrasts with one in which learning is the passive transmission of
information from one individual to another, a view in which reception, not
construction, is key[8]
Ada dua hal
penting disini berkenaan dengan pengetahuan yang dikonstruksi oleh siswa.
Pertama adalah siswa membangun satu pengertian baru dengan menggunakan apa yang sudah mereka
ketahui sebelumnya. Kedua
adalah bahwa siswa lebih bersifat aktif dan bukan pasif. Siswa akan memperbandingkan apa yang
baru dipelajarinya dengan apa yang diketahuinya
Berkaitan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) di Indonesia yang memberikan kewenangan kepada sekolah dan
para guru untuk menyusun sendiri kurikulum pembelajaran yang akan dijalankan,
prinsip-prinsip konstruktivisme tentu dapat menjadi roh dari setiap silabus
yang disusunnya. Hal yang tetap harus diperhatikan adalah kesiapan lingkungan
belajar, baik pendidik, lingkungan, sarana prasarana dan pendukung lainnya.
Jika hal-hal tersebut tidak dipersiapkan dengan baik, bisa jadi terjadi hal-hal
yang melenceng dari harapan. Karena peserta didik mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksinya tidak sesuai dengan hasil
konstruksi para ilmuwan, maka muncullah salah pengertian atau konsep
alternative. Dalam hal seperti ini diperlukan penelusuran dan penelitian untuk
menemukan permasalahan dan mengatasinya.
Menurut teori belajar konstruktivisme pengetahuan tidak bisa dipindahkan begitu
saja dari guru kepada murid. Artinya, peserta didik harus aktif secara mental
membangun struktur pengetahannya berdasarkan kematangan kognitif yang
dimilikinya. Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa
dalam proses pembelajaran, peserta didik lah yang harus mendapatkan penekanan.
Mereka harus aktif mengembangkan pengetahuannya, mereka pula yang harus
bertanggungjawab atas hasilnya. [9]
Dan Belajar diarahkan pada experimental learning, yaitu adaptasi
kemanusiaan berdasar pengalaman konkret di laboratorium, diskusi dengan teman
sekelas, dan kemudian dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Beberapa hal
perlu mendapat perhatian: mengutamakan pembelajaran yang nyata dan relevan,
mengutamakan proses, menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman social
dan dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman. [10]
Menurut pandangan konstruktivistik belajar dan pembelajaran
memiliki ciri :
1)
Tujuan pembelajaran ditekankan pada
belajar bagaimana belajar.
2)
Pengetahuan adalah non-objective,
selalu berubah. Tergantung pemahaman dan perspektif interpretasinya sehingga hasilnya
individualistic.
3)
Penataan lingkungan belajar: tidak
teratur, semrawut, si belajar bebas, kebebasan dipandang sebagai penentu
keberhasilan dan control belajar dipegang si belajar.
4)
Dalam strategi pembelajaran, lebih
diarahkan untuk meladeni pandangan siswa. Aktivitas belajar lebih didasarkan
pada data primer. Pembelajaran menekankan proses.
5)
Evaluasi menekankan pada penyusunan
makna, menggali munculnya berpikir dengan pemecahan ganda. Dan evaluasi
merupakan bagian utuh dari pembelajaran, dan menekankan pada ketrampilan proses.[11]
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
model pembelajaran yang mengacu pada teori belajar konstruktivisme lebih
memfokuskan pada keberhasilan peserta didik dalam mengorganisasikan pengalaman
mereka. guru menjadi fasilitator yang membantu peserta didik mengkonstruksi
sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi. Namun tetap harus
diperhatikan bahwa model pembelajaran ini harus didukung oleh lingkungan yang
tepat. Tujuan model belajar ini adalam menciptakan siswa yang selalu terdorong
mengembangkan diri melalui belajar. Untuk mendorong munculnya mentalitas
demikian, institusi pendidikan harus ikut menciptakan situasi masyarakat yang kondusif. Model
konstruktivistik akan mencapai hasil optimal jika diterapkan dalam lingkunga yang sesuai dengan
tujuan pembelajaran.
[3] Ardianto, Elvinarro dan bambang Filsafat Ilmu Komunikasi ( Bandung :
Simbiosa Rekatama Media, 2007 )
[8] http://rufmania.multiply.com/journal/item/13?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem diakses 28 desember 2011,
Diakses 27 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar