Senin, 02 Januari 2012

PAHAM KRONTRUKTIFISME


BAB I
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Konstruktivisme
Constructivism is a theory of knowledge (epistemology) that argues that humans generate knowledge and meaning from an interaction between their experiences and their ideas.[1]
Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri. Manusia menkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang sesuai[2].
Paradigma konstruktifisme memandang realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak adapat digenerasikan pada semua orang yang biasa dilakukan oleh kaum positifme. Paradigma konstruktifisme menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna ataupun pemahaman perilaku dikalangan mereka sendiri.[3]
Paradigma konstruksifisme memberikan alternatif paradigma dalam mencari kebenaran tentang realitas sosial sekaligus menandai terjadinya pergeseran model rasionalitas praktis yang menekankan peranan contoh dan interprestasi mental.[4]
Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain dan tidak dapat digenerasikan ( disamaratakan ) pada semua orang seperti halnya teori bejana akan tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh tiap-tiap orang. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi tetapi merupkan suatu proses yang berkembang terus-menerus.
Dengan demikian paradikma konstruktif memandang kebenaran tentang sesuatu realitas bersifat relatif atau kebenaran tergantung pada individu pelaku sosial, dan hasil interaksi dari sesama pelaku.


B.     Asal Mula dan Perkembangan Paham Kontruktifisme
Asal mula paham konstruktivisme, menurut Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun sebenarnya gagasan pokok konstruktivisme sudah dimulai oleh Gimbatissta Vico, epistemology dari Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme. Pada tahun 1970, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu.’ Bagi Vico pengetahuan lebih menekankan pada struktur konsep yang dibentuk.[5]
Sekian lama gagasannya tidak dikenal orang dan seakan hilang. Kemudian Jean Piagetlah yang mencoba meneruskan estafet gagasan konstruktivisme, terutama dalam proses belajar. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar dan berkembang melebihi gagasan Vico.
Piaget. J. Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme dalam proses belajar. Menurut Wadsworth (1989) teori perkembangan intelektual Piaget dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang biologi. Teori pengetahuan Piaget adalah teori adaptasi kognitif. Seperti setiap organisme selalu beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat mempertahankan dan memperkembangkan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Berhadapan dengan pengalaman, tantangan, gejala dan skema pengetahuan yang telah dipunyai seseorang ditantang untuk menanggapinya. Dan dalam menanggapi pengalaman-pengalaman baru itu skema pengalaman seseorang dapat terbentuk lebih rinci, dapat pula berubah total. Bagi Piaget, pengetahuan selalu memerlukan pengalaman, baik pengalaman fisis maupun pengalaman mental.
Maddux, Cleborne D., Johnson, D. LaMont dalam tulisannya mengenai teori konstruktivis membagi paham konstruktivis kedalam dua aliran, yaitu paham konstruktivis kognitif dan paham konstruktivis sosial (cognitive constructivism and social constructivism). Konstruktivis kognitif didasarkan pengembangan yang dibuat oleh ahli psikologi perkembangan Swiss, Piaget. Teori Piaget ini mengandung dua unsur pokok yaitu : umur dan tahap perkembangan. Melalui kedua unsur ini bisa diprediksi apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh seorang anak berdasarkan umurnya, serta teori perkembangan yang menjelaskan bagaimana seorang anak membangun kemampuan kognitivnya.[6]
Teori konstruktivis sosial dibangun berdasarkan pengembangan yang dibuat oleh Lev Vygotsky. Vygotsky menekankan pada lingkungan sosial yang ikut membantu perkembangan seorang anak. Bagi Vygotsky, budaya sangat berpengaruh sekali dalam membentuk struktur kognitiv anak. Yang membantu perkembangan anak bukan hanya guru, tetapi juga anak-anak yang lebih ‘dewasa’. [7]

C.    Pengaruh Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan
Sebenarnya prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan. Secara umum prinsip-prinsip itu berperan sebagai referensi dan alat refleksi kritis terhadap praktek, pembaruan dan perencanaan pendidikan.
Prinsip-prinsip yang diambil dari konstruktivisme adalah :
a.       Pengetahuan dibangun oleh peserta didik secara aktif.
b.      Tekanan dalam proses belajar terletak pada peserta didik.
c.       Mengajar adalah membantu peserta didik belajar.
d.      Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses, bukan hasil.
e.       Kurikulum menekankan partisipasi peserta didik.
f.       Guru adalah fasilitator.
Constructivism's central idea is that human learning is constructed, that learners build new knowledge upon the foundation of previous learning. This view of learning sharply contrasts with one in which learning is the passive transmission of information from one individual to another, a view in which reception, not construction, is key[8]
Ada dua hal penting disini berkenaan dengan pengetahuan yang dikonstruksi oleh siswa. Pertama adalah siswa membangun satu pengertian baru dengan menggunakan apa yang sudah mereka ketahui sebelumnya. Kedua adalah bahwa siswa lebih bersifat aktif dan bukan pasif. Siswa akan memperbandingkan apa yang baru dipelajarinya dengan apa yang diketahuinya
Berkaitan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di Indonesia yang memberikan kewenangan kepada sekolah dan para guru untuk menyusun sendiri kurikulum pembelajaran yang akan dijalankan, prinsip-prinsip konstruktivisme tentu dapat menjadi roh dari setiap silabus yang disusunnya. Hal yang tetap harus diperhatikan adalah kesiapan lingkungan belajar, baik pendidik, lingkungan, sarana prasarana dan pendukung lainnya. Jika hal-hal tersebut tidak dipersiapkan dengan baik, bisa jadi terjadi hal-hal yang melenceng dari harapan. Karena peserta didik mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksinya tidak sesuai dengan hasil konstruksi para ilmuwan, maka muncullah salah pengertian atau konsep alternative. Dalam hal seperti ini diperlukan penelusuran dan penelitian untuk menemukan permasalahan dan mengatasinya.
Menurut teori belajar konstruktivisme pengetahuan tidak bisa dipindahkan begitu saja dari guru kepada murid. Artinya, peserta didik harus aktif secara mental membangun struktur pengetahannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, peserta didik lah yang harus mendapatkan penekanan. Mereka harus aktif mengembangkan pengetahuannya, mereka pula yang harus bertanggungjawab atas hasilnya. [9]
Dan Belajar diarahkan pada experimental learning, yaitu adaptasi kemanusiaan berdasar pengalaman konkret di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, dan kemudian dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Beberapa hal perlu mendapat perhatian: mengutamakan pembelajaran yang nyata dan relevan, mengutamakan proses, menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman social dan dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman. [10]
Menurut pandangan konstruktivistik belajar dan pembelajaran memiliki ciri :
1)      Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar.
2)      Pengetahuan adalah non-objective, selalu berubah. Tergantung pemahaman dan perspektif interpretasinya sehingga hasilnya individualistic.
3)      Penataan lingkungan belajar: tidak teratur, semrawut, si belajar bebas, kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan dan control belajar dipegang si belajar.
4)      Dalam strategi pembelajaran, lebih diarahkan untuk meladeni pandangan siswa. Aktivitas belajar lebih didasarkan pada data primer. Pembelajaran menekankan proses.
5)      Evaluasi menekankan pada penyusunan makna, menggali munculnya berpikir dengan pemecahan ganda. Dan evaluasi merupakan bagian utuh dari pembelajaran, dan menekankan pada ketrampilan proses.[11]

Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran yang mengacu pada teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada keberhasilan peserta didik dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. guru menjadi fasilitator yang membantu peserta didik mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi. Namun tetap harus diperhatikan bahwa model pembelajaran ini harus didukung oleh lingkungan yang tepat. Tujuan model belajar ini adalam menciptakan siswa yang selalu terdorong mengembangkan diri melalui belajar. Untuk mendorong munculnya mentalitas demikian, institusi pendidikan harus ikut menciptakan situasi masyarakat yang kondusif. Model konstruktivistik akan mencapai hasil optimal jika diterapkan dalam lingkunga yang sesuai dengan tujuan pembelajaran.


[2] Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan ( Yogyakarta: Kanisius. 2008 ), 28
[3] Ardianto, Elvinarro dan bambang  Filsafat Ilmu Komunikasi ( Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2007 )
[4] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, ( Yogyakarta: belukar, 2004),  96
[5] Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan ( Yogyakarta: Kanisius. 2008 ),33
[6] http://viking.coe.uh.edu, diakses 27 Desember 2011
[7] Ibid, diakses 27 Desember 2011
[9] http://akhmadsudrajat.wordpress.com, diakses 29 Desember 2011
[10] Pranata, http://puslit.petra.ac.id , diakses 29 Desember 2011
[11] http://www.images.dani7bd.multiply.com , diakses 29 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar