KITAB HADĪTH KUTUB AL-SITTAH; SAHH AL-BUKHR
(Biografi, Metode dan Sistematika SahÌh al-BukhªrÌ, Pandangan serta Kritik Terhadap SahÌh al-BukhªrÌ)
Oleh:
MOH. SYAFI’IL ANAM (921111040)
A.
Latar Belakang
"الخط يبقى زمانا بعد صاحبه
وكاتب الخط تحت الأرض مدفون"
“Karya-karya tulis akan
kekal sepanjang masa, sementara penulisnya hancur terkubur dibawah tanah”.
Agaknya ungkapan indah dan sarat makna diatas relevan dan dirasa
selaras dengan tema sentral dalam makalah ini.
Membincang tentang diskursus
hadÌth merupakan suatu hal yang sangat melelahkan dan
menguras tenaga serta pikiran dalam proses penelaahannya. Perkembangan
hadith ditandai dengan aktivitas penghimpunan hadith Nabi Muhammad SAW. yang dilakukan oleh
para ulama’ hadith. Dalam kegiatan penghimpunan hadith tersebut, ulama’ hadith
mengadakan perlawatan ke berbagai daerah untuk mengunjungi tempat tinggal para
periwayat hadith. Dan tidak mengherankan bila seorang ulama’ dapat menghabiskan
waktu belasan atau berpuluh tahun untuk menyusun sebuah kitab hadith.
Pada akhir abad kedua sampai abad keempat hijrah, muncullah
kitab-kitab hadith Nabi dengan pengaturan, metode dan sistematika tertentu. Salah
satunya dikenal dengan Kutub al-Sittah. Di antara kitab-kitab hadith tersebut
yang paling mashhur adalah SahÌh al-BukhªrÌ yang diakui sebagai kitab
yang paling utama dan memiliki tingkat kredibilitas yang tinggi oleh umat Islam.
Untuk memperdalam
khazanah pengetahuan terhadap kitab-kitab hadith, dalam makalah ini akan
dikupas secara singkat tentang kitab Hadith Kutub Al-Sittah; Sahīh Al-Bukhārī,
yang dikhususkan pada biografi dari Imªm al-BukhªrÌ,
metode, sistematika dan pandangan serta kritik terhadap SahÌh al-BukhªrÌ.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana biografi dari Imªm al-BukhªrÌ ?
2.
Bagaimana metode dan sistematika SahÌh al-BukhªrÌ ?
3.
Bagaimana pandangan dan kritik terhadap SahÌh al-BukhªrÌ ?
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Imªm al-BukhªrÌ
1.
Nama
dan Kunniyah, dan Naṣab
Imªm al-BukhªrÌ
Nama
lengkap dari al-Bukhārī adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughīrah bin Bardizbah (ada yang berpendapat Badzduzbah) al-Ju’fi al-Bukhārī.[1] Adapun kunniyah
al-Bukhārī adalah Abū ‘Abdillah. Sedangkan naṣab beliau merupakan keturunan salah seorang ulama’ hadith yang sangat
terkenal yaitu Isma’il[2] dan Ibu beliau merupakan
wanita yang taat beribadah. Kakek-kakek al-Bukhārī beragama Majusi, kakeknya yang mula-mula memeluk Islam
ialah al-Mughīrah yang di Islamkan oleh Al-Yaman bin Anhas al-Ju’fi seorang
gubernur Bukhara tatkala itu, karena itulah kemudian beliau dinaṣabkan dengan
al-Ju’fi atas dasar wala`ul Islam.[3]
2.
Kelahiran, Asal Negeri dan Wafatnya al-BukhªrÌ
Sang alim ini
bukanlah orang ‘Arab, beliau lahir di negeri Bukhāra, suatu kota di Uzbekistan, wilayah Uni Soviet
yang merupakan simpang jalan antara Rusia, Persi, Hindia dan Tiongkok. Beliau
lebih dikenal dengan nama Bukhārī (putra daerah Bukhārā). Beliau dilahirkan seusai shalat Jumat, pada tanggal
13 bulan Syawal tahun 194 H (21 Juli 810 M).[4]
Imam al-Bukhārī wafat pada tahun 256 H
(bertepatan dengan 31 Agustus 870 M) hari sabtu malam ‘Idul Fitri, dalam usia
62 tahun kurang 13 hari di suatu perkampungan di Samarkand.[5]
3.
Bentuk Fisik dan Akhlak al-BukhªrÌ
Imām yang dijuluki
amīrul Mukminīn fil Hadith tersebut telah nampak kecerdasannya sejak belia, ia adalah seorang yang bertubuh kurus, tidak tinggi dan juga
tidak pendek serta berkulit kecoklatan. Beliau merupakan satu dari tanda
kebesaran Allah SWT di muka bumi ini, dikenal
masyarakat dengan kewara’annya, penyayang, dan merupakan sosok teladan dalam berinfaq. Beliau juga seorang yang banyak beribadah pada malam hari, sedikit
makan, banyak membaca al-Quran, cekatan dalam mengendarai kuda dan piawai dalam
membidikkan panah.[6]
4.
Perkembangan Ilmu al-BukhªrÌ
dan Rihlah dalam Menuntut
Ilmu
Allah SWT
telah mengaruniakan kepada beliau hati yang bersih, otak yang cerdas, dan hafalan
yang sangat kuat hingga boleh dikatakan bahwa dalam usia yang sangat muda
beliau telah sejajar dengan beberapa ulama’ di negaranya. Dalam usianya yang masih relatif muda (11 tahun), al-Bukhārī sudah mulai menuntut ilmu dan menghafal beberapa buku yang ditulis oleh
para imam hadith di negerinya.
Pada tahun
210 H al-Bukhārī bersama ibu dan saudaranya pergi ke Hijaz (Makkah) untuk melakukan ibadah haji.
Selanjutnya al-Bukhārī menetap di Madinah dan menulis kitab sejarah yang diberi nama al-Tarīkh al-Kabīr, di samping makam Nabi Muhammad SAW. al-Bukhārī memberikan tambahan pada kitab ini dua kali di akhir hidupnya. Al-Bukhārī termasuk orang yang sangat cerdas dan memiliki hafalan yang sangat kuat. Ia menghafal 100.000 hadith
ṣahīh dan 200.000 hadih yang tidak ṣahīh, di samping juga menguasai berbagai ilmu,
terutama yang terkait dengan hadith. Berkat kesabaran, kecerdasan, dan cintanya
terhadap ilmu, al-Bukhārī
mencapai derajat
tertinggi dalam hadith pada zamannya. Dia mendapat gelar Imam al-Mu’minin fi al-Hadith atau Amir
al-Mu’minin fi al-Hadith.[7]
Selain di Mekkah dan Medinah beliau juga telah mengadakan rihlah[8] untuk
menuntut ilmu ke berbagai negara diantaranya Syam (Damaskus dan sekitarnya),
Mesir, Kufah, Bashrah dan Baghdad.
5.
Guru-Guru dan Murid al-BukhªrÌ
Adapun guru-guru dari al-Bukhārī yang terkenal, antara lain adalah:
a.
Abū ‘Aṣim An-Nabil, ḍahhak bin Makhlad Ash-Shaibani Al-Baṣri (wafat 212 H).
b.
Abū Nu’aim, Faḍl bin Dukain (wafat tahun 218/219 H).
c.
Abū Raja’ Al-Baghlani, Qutaibah bin Said bin Jamil
Al-thaqafi (wafat 240 H).
d.
Abū ‘Abdillah Nu’aim bin Hammad Al-Marwazi (wafat
tahun 228 H); seorang faqih dan menguasai ilmu Faraiḍ serta salah seorang imam ahli sunnah yang tegas
terhadap ahli bid’ah
e.
Abul Husain Ali bin Abdullah Al-Madīni (wafat 234 H); salah seorang imam dan ulama yang
paling ahli di bidang hadith dan ‘ilal pada zamannya.
f.
Abū Zakariyya Yahya bin Ma’in Al-Baghdadi (wafat tahun
233 H); salah seorang hafiẓ dan imam yang tenar terutama dalam ilmu Al-Jarh wa
At-Ta’dil.
g.
Abū Muhammad, Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali, yang
lebih dikenal dengan Ibnu Rahawaih (wafat 238 H); hafiẓ, mujtahid dan rekan Imam Ahmad. Beliaulah yang
mengusulkan pertama kali untuk mengumpulkan hadith-hadith shahīh dalam satu kitab.
h.
Abū ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal Ash-Shaibani (wafat 241
H); imam Ahli Sunnah wal Jamā’ah, faqihul muhaddithin dan muhaddithul fuqahā`.
i.
Abu Bakar, Abdullah bin Muhammad bin Abi Shaibah
Al-Kufi (wafat 235 H); hafiẓ dan penyusun kitab Al-Muṣannaf.
j.
Muhammad bin Yahya Az-Zuhli Al-Naisaburi (wafat 258
H); seorang hafiẓ yang mulia, guru sekaligus rekan Imām Bukhārī.
Diantara murid-murid dari al-Bukhārī yang terkenal adalah:
a.
Abul Husain Muslim bin Hajjaj Al-Naisaburi (wafat
261 H); penyusun kitab ṣahīh Muslim.
b.
Abū Isa Muhammad bin Isa Tirmidzi (wafat 279 H);
penyusun kitab Jami’ atau Sunan Tirmidzi dan beliau salah seorang murid yang
terdekat dengan Imām Bukhārī.
c.
Abū Abdirrahman Ahmad bin Shu’aib Al-Nasa`i (wafat 303
H); penyusun kitab Al-Mujtaba’ atau Sunan Nasa`i.
d.
Abū Muhammad Abdullah bin Abdirrahman Al-Darīmi (wafat 255 H); penyusun kitab Sunan Darimi.
e.
Abū Abdillah Muhammad bin Naṣr Al-Marwazi (wafat 294 H); faqih, hafiẓ, imam dan penulis beberapa kitab yang bermanfaat
seperti Ta’ẓim Qadri Al- Ṣōlah dan Qiyām Al-Lail.
f.
Abū Hātim Muhammad bin Idris Al-Hanzali Al-Rāzi (wafat 277 H); hafiẓ dan salah seorang ulama’ al-jarh wa at-ta’dil.
g.
Abū Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (wafat 311
H); imamnya para imam dan penyusun kitab ṣahīh Ibn Khuzaimah.[9]
6.
Buah Karya al-BukhªrÌ
Adapun
sumbangsih atau karya-karya monumental dari Al-Bukhārī antara lain
adalah: Al-Jami’ As-Ṣahīh (yang lebih dikenal sebagai Ṣahīh Al-Bukhārī, kitab ini berada pada posisi kedua setelah Al-Quran
dalam tingkat kesahihannya), Al-Adab al-Mufrad, Aḍ-Ḍu'afa aṣ-Ṣaghir, Al-Tarikh aṣ-Ṣaghir, At-Tarikh al-Ausaṭ, At-Tarikh al-Kabir, At-Tafsir al-Kabir, Al-Musnad al-Kabir, Kazaya Ṣahabah wa Tabi'in, Kitab al-Ilal, Raf'ul Yadain fi aṣ-Ṣalah, Birr al-Walidain, Kitab ad-Du'afa, Asami aṣ-Ṣahabah, Al-Hibah, Khalq Af'al al-‘Ibad, Al-Kuna dan Al-Qira'ah Khalf al-Imam.[10]
B.
Metode dan Sistematika SahÌh al-BukhªrÌ
Dari sekian banyak buah karya Imām al-BukhªrÌ, yang paling masyhur adalah kitab Ṣahīh al-BukhªrÌ. Adapun judul
lengkap dari kitab tersebut adalah Al-Jāmi’ al-Musnad al-Ṣahīh al-Mukhtasar
min Umur Rasūlillah wa Sunanih wa Ayyāmih. Kitab ini disusun dalam kurun
waktu lebih kurang 16 tahun.[11]
Jumlah hadith yang dituliskan dalam kitab jami’nya sebanyak 6.397 buah dengan
terulang-ulang, belum dihitung yang mu’allaq dan mutabi’, yang mu’allaq
sejumlah 1.341 buah dan yang mutabi’ sebanyak 384 buah. Jadi, seluruhnya
berjumlah 8.122 buah di luar yang maqtu’ dan mauquf. Sedang jumlah yang tulen
saja, yakni yang tanpa berulang, tanpa mu’allaq dan mutabi’ adalah 2.513 buah.[12] terjadi perhitungan berbeda diantara para ahli hadith tersebut dalam
mengomentari kitab Ṣahīh al-BukhªrÌ, hal tersebut semata-mata dikarenakan perbedaan pandangan mereka
dalam ilmu hadith.[13]
Banyak ulama’ hadith yang menaruh perhatian
terhadap kitab Ṣahīh al-BukhªrÌ. Di antara
mereka ada yang kemudian membuat syarh dan Mukhtashar dari kitab tersebut.
Di antara kitab Syarah yang ditulis
dalam hal ini adalah al-Kawakib al-Ḍarari fi Syarh al-Bukhari tulisan
al-‘Allamah Syamsuddin Muhammad bin Yusuf bin ‘Ali al-Kirmani, Fath al-Bari bi Syarh Ṣahīh al-BukhªrÌ tulisan Ibnu Hajar al-‘Asqallani, ‘Umdat
al-Qari’ tulisan Badruddin Mahmud
bin Ahmad al-‘Aini, dan Irsyad al-Syari ila Ṣahīh al-BukhªrÌ tulisan Syihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Khathib
al-Miṣri al-Syafi’i atau yang terkenal
dengan nama al-Qasthallani. Disamping kitab syarah terdapat pula kitab
ringkasannya, berikut adalah nama-nama kitab Mukhtashar Ṣahīh al-BukhªrÌ di antaranya adalah Bahjat al-Nufus wa
Ghayatuha bi Ma’rifat Mā Lahā wa Mā ‘Alaiha tulisan Abu Muhammad ‘Abdullah
bin Sa’d bin Abi Jamrah al-Andalusi dan Mukhtashar tulisan Zainuddin Abī
al-Abbas Ahmad bin ‘Abdullaṭif al-Sharji al-Zubaidi.[14]
Adapun metode atau cara-cara yang ditempuh oleh Imªm al-BukhªrÌ dalam rangka mempertanggungjawabkan kesahihan hadits-hadithnya
ialah dengan menggunakan metode Jami’[15]
dengan menerapkan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dengan disiplin ilmu
hadith, sebagaimana diutarakan oleh M. Syuhudi Ismail, yaitu:
1.
Menta’dil
dan mentarjih.
2.
Memakai sharat
mu’asarah dan liqa’.
3.
Menggunakan
sharat-sharat yang sudah disepakati para ulama’, yaitu bahwa perawi haruslah
seorang muslim, berakal, jujur, memiliki sifat adil, kuat ingatannya, sedikit
melakukan kesalahan, sanadnya bersambung dan matannya tidak janggal.[16]
Berdasarkan hal diatas maka Imªm al-BukhªrÌ adalah seorang ulama’ yang paling ketat dalam mengajukan
sharat-sharat kesahihan sebuah Hadith, dan ia juga sangat teliti dalam
meriwayatkan Hadith.
Sedangkan sistematika pembahasan dalam Ṣahīh al-BukhªrÌ
dikelompokkan berdasarkan topik-topik tertentu yang
tersusun dalam beberapa kitab dan bab. Jumlah hadith dalam setiap kitab dan bab
bervariasi. Pada satu bab bisa memuat hadith yang banyak, namun pada bab yang
lain bisa hanya memuat satu atau dua hadith saja. Bahkan pada beberapa bab
hanya berisi ayat-ayat al-Quran saja tanpa satu pun hadith didalamnya, atau
hanya terdapat judul bab tanpa ada satu pun hadith maupun ayat-ayat al-Quran di
dalamnya, untuk memudahkan baginya menemukan hadith sesuai dengan bab tersebut
pada suatu saat. Konten atau Isi kitab Ṣahīh al-BukhªrÌ
dibagi ke dalam lebih dari 100 bagian dan
3.450 bab yang dimulai dari pembahasan tentang wahyu dan ditutup dengan
pembahasan tauhid.
Adapun
teknik penulisan yang digunakan oleh al-BukhªrÌ
adalah:
- Memulainya
dengan menerangkan wahyu, karena ia adalah dasar segala syari’at;
- Kitabnya
tersusun dari berbagai tema;
- Setiap
tema berisi topik-topik ;
- Pengulangan
hadith disesuaikan dengan topik yang dikehendaki tatkala mengistinbatkan
hukum.[17]
C.
Pandangan dan Kritik Terhadap SahÌh al-BukhªrÌ
Telah menjadi kesepakatan ulama’ dan umat Islam bahwa kitab Ṣahīh al-BukhªrÌ
adalah kitab yang paling mashhur, otentik dan menduduki
tempat terhormat setelah al-Quran. Diantara para ulama yang mengemukakan
demikian adalah Ibnu Salah, beliau mengemukakan bahwa kitab yang paling otentik
sesudah al-Quran adalah Ṣahīh al-BukhªrÌ. Meskipun dinilai paling otentik
setelah Alqur’an dan menduduki tempat terhormat, namun kitab Ṣahīh al-BukhªrÌ
tetaplah buah karya manusia yang tidak pernah luput dari kekurangan,
kelemahan dan kritik.[18]
Ṣahīh al-BukhªrÌ mendapat lontaran kritik, baik dari segi sanad maupun matannya,
baik dikalangan ulama sendiri maupun orang non muslim.
Salah satu pandangan kritis terhadap kitab Ṣahīh al-BukhªrÌ dilontaran oleh Ibn Hajar al-Asqalani yang mengutarakan bahwa dalan
bab-bab dari kitab tersebut ada yang berisi ayat-ayat al-Quran an sich, beberapa
hadith, ada juga yang berisi satu ayat dan satu hadith. Imªm al-BukhªrÌ kadangkala mengungkapkan hadith dalam keadaan terpotong-potong dan
kadang-kadang singkat. Selain itu ada pula hadith-hadith yang dikemukakan tanpa
sanad. Hal tersebut dilakukan bilamana sudah diketahui atau dikenal secara
umum.[19]
Lontaran kritik lainnya diungkapkan oleh ulama’ kontemporer yaitu
Ahmad Amin dalam kitab Duh al-Islam, yang mengutarakan bahwa:
1.
Sistematika
yang dipakai oleh al-BukhªrÌ dalam menyusun kitabnya mengikuti pola yang biasa digunakan kitab
fiqih. Pola tersebut menimbulkan kesan bahwa al-BukhªrÌ cenderung menekankan pada usaha mengistimbatkan hokum-hukum fiqih
dengan hadith-hadithnya. Namun demikian, ternyata kitab tersebut tidak hanya
memuat maslah-masalah fiqih saja, tetapi juga diselingi dengan materi-materi
yang lain. Tambahnya, dalam memberikan judul tampaklah kelemahannya, karena
sebagian judul yang ada sulit dipahami dalam kaitannya dengan hadith yang
terdapat dalam judul itu.
2.
Hadith
yang termaktub dalam kitab Ṣahīh al-BukhªrÌ disebut secara terpotong-potong. Bahkan sebagian disebutkan pada
suatu bab tertentu dan potongan lainnya disebutkan pada bab yang lain.
Berkaitan dengan persolalan tersebut, al-BukhªrÌ pada sebagian tempat memakai sanad yang muttasil (bersambung) dan
pada bagian yang lain memakai sanad munqati’ (terputus).
Selain pendapat tersebut di atas, kaum orientalis, seperti Ignaz
Goldziher, A.J. Wensik dan Maurice Bucaille, turut juga mengajukan kritik, yang
kemudian dikenal dengan kritik matan hadith. Menurut mereka,
para ahli hadith terdahulu hanya mengkritik hadith dari sanad atau perawi saja,
sehingga banyak hadith yang terdapat dalam Ṣahīh al-BukhªrÌ yang kemudian hari ternyata tidak sahih ditinjau dari segi sosial,
politik, sains dan lain-lain. Di antara hadith yang dikritik itu adalah hadith
yang berasal dari al-Zuhri, bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Tidak
diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, yaitu Masjid al-Haram, Masjid
Rasul, dan Masjid al-Aqsa”. hadith ini menurut Goldziher adalah hadith palsu
yang sengaja dibuat al-Zuhri untuk kepentingan politik semata. Sedangkan hadith
tentang “Lalat masuk air minum”, “Demam berasal dari neraka”, dan “Perkembangan
embrio” dikritik Maurice Bucaille karena isinya bertentangan dengan sains.[21]
Menanggapi kritikan orientalis tersebut, Muhammad al-Ghazali
menyatakan apabila suatu hadith bertentangan dengan sains, hadith itu harus
ditolak meskipun ia terdapat dalam Ṣahīh al-BukhªrÌ, sebab menurutnya, al-BukhªrÌ itu bukan seorang yang ma’sum. Seperti hadith tentang
“Seandainya tidak ada Bani Israil, makanan dan daging tidak akan busuk” adalah hadith
ḍa’if karena tidak sesuai dengan sains. Kritik-kritik dari kaum orientalis dan
ulama kontemporer tersebut telah mendorong lahirnya para pembela Imam Bukhari
untuk menyanggah kritik-kritikan tersebut seperti Muhammad Mustafa ‘Azami dan
Mustafa al-Siba’i dengan sanggahan itu membuat semakin menambah kualitas Ṣahīh al-BukhªrÌ dan mendorong munculnya ulama hadith sesudah al-BukhªrÌ untuk membuat syarah maupun ikhtisar kitab sahih ini, dan membuat jawaban yang lebih
luas dan mendalam terhadap kritik-kritik ini.[22]
Ṣahīh al-BukhªrÌ menurut Ahmad Umar Hashim dalam kitabnya Qawāid Uṣul al-Hadith dikatakan
sebagai kitab al-Kutub al-Sittah ranking pertama dan paling baik, al-BukhªrÌ merupakan sosok yang sangat hati-hati dalam menulis para perawi
hadith sehingga buah karyanya disebut-sebut sebagai kitab paling sah setelah
al-Quran. Beberapa kritikan diatas merupakan potret dinamika khazanah keilmuan
dalam rangka memunculkan konsep-konsep baru dalam bidang hadith, baik yang
terlontar dari kalangan intern umat Islam sendiri maupun non muslim.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Nama
lengkap dari al-Bukhārī adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughīrah bin Bardizbah (ada yang berpendapat Badzduzbah) al-Ju’fi al-Bukhārī. Ia dilahirkan
seusai shalat Jumat, pada tanggal 13 bulan Syawal tahun 194 H (21 Juli 810 M).
Imam al-Bukhārī wafat pada tahun 256 H
(bertepatan dengan 31 Agustus 870 M) hari sabtu malam ‘Idul Fitri, dalam usia
62 tahun kurang 13 hari di suatu perkampungan di Samarkand. Ia adalah sosok tauladan umat, seorang yang bertabiat baik, bertubuh kurus, tidak tinggi dan juga tidak pendek
serta berkulit kecoklatan. Al-Bukhārī termasuk orang yang jenius, cerdas dan memiliki hafalan yang sangat kuat. Salah satu karya monumental
dari Al-Bukhārī adalah: Al-Jami’ As-Ṣahīh (yang lebih dikenal sebagai Ṣahīh Al-Bukhārī, kitab ini berada pada posisi kedua setelah
Al-Quran dalam tingkat kesahihannya).
Metode atau cara-cara yang ditempuh oleh Imªm al-BukhªrÌ dalam rangka mempertanggungjawabkan kesahihan hadits-hadithnya
ialah dengan menggunakan metode Jami’ dan dengan menerapkan kaidah-kaidah
penelitian secara ilmiah dengan disiplin ilmu hadith, yaitu menta’dil dan
mentarjih, memakai sharat mu’asarah dan liqa’ dan menggunakan sharat-sharat
yang sudah disepakati para ulama’. Sedangkan sistematika pembahasan dalam Ṣahīh al-BukhªrÌ
dikelompokkan berdasarkan topik-topik tertentu yang
tersusun dalam beberapa kitab dan bab. Jumlah hadith dalam setiap kitab dan bab
bervariasi. Konten dari kitab Ṣahīh al-BukhªrÌ
dibagi ke dalam lebih dari 100 bagian dan
3.450 bab yang dimulai dari pembahasan tentang wahyu dan ditutup dengan
pembahasan tauhid.
Ṣahīh al-BukhªrÌ mendapat berbagai lontaran dan pandangan kritis, baik dari segi
sanad maupun matannya, diantaranya adalah Ibnu Salah, Ibn Hajar al-Asqalani,
ulama’ kontemporer seperti Ahmad Amin dan Muhammad al-Ghazali, Muhammad Mustafa
‘Azami dan Mustafa al-Siba’I, Ahmad Umar Hashim dan lain sebagainya. Selain
pendapat kritis tersebut, kaum orientalis, seperti Ignaz Goldziher, A.J. Wensik
dan Maurice Bucaille juga ikut andil dalam menanggapi karya monumental dari al-BukhªrÌ. berbagai pandangan dan krtitikan tersebut dating dari kalangan
umat islam sendiri maupun orang non muslim.
[1]Lihat Zainul Arifin, Studi
Kitab Hadith (Surabaya: Al-Muna, 2010), 97. Arifin mengutip dari M.M Abu
Shuhbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Sihah al-Sittah (Kairo: Majma’
al-Buhus al-Islamiyah, 1969), 43.
[2] Isma’il adalah seorang ‘ulamā’ hadith yang pernah belajar Hadith kepada
beberapa ahli Hadith terkenal di antaranya Hammad ibn Zaid, Imām Mālik ibn
Anas, dan Ibn Mubārak.
Dalam kitab ats-Tsiqat, Ibnu Hibban menulis bahwa
ayahnya dikenal sebagai orang yang wara' dalam arti berhati hati terhadap hal
hal yang bersifat syubhat (ragu-ragu) hukumnya terlebih lebih terhadap hal yang
haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan murid dari Imam Mālik,
seorang ‘ulamā’ besar dan ahli fiqih. Ayahnya wafat ketika Bukhārī masih kecil.
Lihat
“Imam Bukhari” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Bukhari,
diakses 5 November 2011.
[3] Lihat Muhammad Ahmad
dan M. Mudzakir, Ulumul Hadith (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 171.
[4] Fatchur Rahman, Ikhtishar
Mushthalahu’l Hadits (Bandung: PT Alma’arif, 1974), 375-376.
[5]Jenazah
al-Bukhārī dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum
meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar
dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu
dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Beliau meninggal tanpa
meninggalkan seorang anakpun. Lihat “Sejarah Singkat Imam Bukhari”
dalam http://opi.110mb.com/haditsweb/sejarah/sejarah_singkat_imam_bukhari.htm,
diakses 4 November 2011.
[6]Markaz
As-Sunnah, “Imam Bukhari;
Imamnya Para Ahli Hadits” dalam http://www.markazassunnah.com/2009/06/imam-bukhari-imamnya-para-ahli-hadits.html,
diakses 4 November 2011.
[7] Marzuki, “Kritik
Terhadap Kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim”, Humanika, Volume 6,
Nomor 1 (Maret 2006), 28-29.
[8]Dalam
setiap perlawatannya yang melelahkan itu, Imam Bukhārī senantiasa menghimpun
hadith-hadith dan ilmu pengetahuan dan mencatatnya sekaligus. Di tengah malam
yang sunyi, ia bangun dari tidurnya, menyalakan lampu dan menulis setiap
masalah yang terlintas di hatinya, setelah itu lampu di padamkan kembali.
Perbutan ini ia lakukan hampir 20 kali setiap malamnya. Ia merawi hadith dari
80.000 perawi, dan berkat ingatannya yang memang super jenius, ia dapat
menghapal hadith sebanyak itu lengkap dengan sumbernya. Lihat “Para Imam
al-Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadits Utama)” dalam http://madrasahmassahar.blogspot.com/2010/04/para-imam-penghimpun-hadits-al-kutubus.html,
diakses 5 november 2011.
[9]Lihat
Markaz As-Sunnah, “Imam bukhari;
imamnya para ahli hadits” dalam http://www.markazassunnah.com/2009/06/imam-bukhari-imamnya-para-ahli-hadits.html,
diakses 4 November 2011.
[11]Imām al-BukhªrÌ mulai membuat kerangka penulisan
kitab tersebut pada saat ia berada di Masjidil Haram, Mekkah, dan secara terus
menerus dia menulis kitab tersebut sampai kepada draft terakhir yang
dikerjakannya di Masjid Nabawi di Madinah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan Imām
al-Bukhārī menyusun kitab ini, diantaranya adalah: kondisi saat itu yang langka
akan kitab yang benar-benar bisa dijadikan rujukan yang kuat. Karena hampir
semua literatur yang ada, semuanya bercampur aduk antara Hadith yang sahih,
hasan dan da’if, sehingga sangat menyulitkan bagi orang yang ingin
mendalami bahasan-bahasan tertentu untuk membedakan antara hadith-hadith sahih
dan lainnya. Selain itu, juga literatur yang ada belum mengelompokkan
pokok-pokok bahasan tertentu bab demi bab, karena tujuan utama penulisannya
adalah ‘masih sekedar’ untuk mengumpulkan Hadith dan sebagai sarana untuk
menghafalkannya bagi umat.
Selain itu, adanya unsur
‘meremehkan’ Fiqh al-Hadith dan segala yang berkaitan dengannya, dari lafaz,
ma’na dan fawaid yang terdapat dalam hadith-hadith pada sebagian
ahli hadith dan rawi. Hal ini membawa implikasi pada lemahnya ahli-ahli hadith ketika
harus berhadapan dengan ahli-ahli bid’ah yang sengaja menyebarkan hadith-hadith
da’if bahkan hadith-hadith palsu di dalam berargumentasi. Hal ini
sangat mempengaruhi Imam Bukhari untuk segera mencari solusi atas masalah yang
sangat berdampak negatif terhadap umat. Terlebih setelah ia melihat banyaknya
ahli-ahli yang mulai lebih mengutamakan logika sekalipun menyalahi sunnah yang
datang dari Rasulullah saw.
Selain dari faktor-faktor
tersebut di atas, faktor penting lainnya yang memotivasi Imām al-BukhªrÌ adalah ucapan gurunya Ishaq ibn Rahawaih,
yaitu “Tulislah sebuah kitab kecil tentang hadith sahih Rasulullah SAW”.
Bukhari mengatakan: “Perkataan guruku itu ternyata sangat menyentuh hatiku,
maka aku mulai untuk menuliskan buku tersebut. Lihat Nani Endri Santi, “Imam Al-Bukhari dan
Kitab Sahih Bukhari” dalam http://istanailmu.com/2011/03/20/imam-al-bukhari-dan-kitab-sahih-bukhari/html,
diakses 4 November 2011.
[12] Rahman , Ikhtishar
Mushthalahu’l Hadits, 377-378.
[13]Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah
hadith yang terdapat dalam Sahih Bukhari. Menurut penelitian ‘Azami,
ada 9.082 hadith yang dimuat Imam al-Bukhari ke dalam kitab Sahih-nya,
dan apabila dihitung tanpa memasukkan hadith yang berulang, maka jumlahnya
adalah 2.602 hadith. Jumlah ini tidak termasuk di dalamnya hadith mauquf
dan hadith Maqtu’. Sementara itu, menurut Ibnu Shalah dan Imam
an-Nawawi, kitab ini memuat 7.275 buah hadith, dengan adanya pengulangan, dan
bila tidak diulang jumlahnya hanya 4.000 buah.
Dalam menyeleksi
hadith-hadith yang akan dimuat dalam kitabnya, Bukhari sangat cermat dan
teliti, sehingga dari 600.000 hadith yang ia dapatkan hanya 4.000 saja yang
dimuat. Diriwayatkan bahwa karena kehati-hatiannya, setiap kali hendak menulis
hadith al-Bukhari selalu mandi dulu dan shalat istikharah dua raka’at untuk
meyakinkan bahwa hadith yang akan ditulisnya itu benar-benar sahih. Hal
tersebut terlihat dari pernyataan al-Bukhari sendiri, sebagai berikut:
قال إبراهيم: و سمعته يقول: ما أدخلت في كتابي الصحيح إلا ما صح…
قال محمد بن إسماعيل : ما وضعت في كتابي الصحيح حديثا إلا اغتسلت قبل
ذلك وصليت ركعتين.
Ibrahim berkata: “Saya mendengar dia (Bukhari) berkata:
Saya tidak masukkan ke dalam kitab Sahihku kecuali Hadith yang sahih”. Muhammad
ibn Ismail (al-Bukhari) berkata:” Aku tidak akan memasukkan satu Hadith pun
kedalam kitab sahihku kecuali setelah aku mandi dan shalat dua rakaa’at sebelumnya.”.
Untuk lebih lanjut lihat Santi, “Imam Al-Bukhari dan Kitab Sahih Bukhari”
dalam http://istanailmu.com/2011/03/20/imam-al-bukhari-dan-kitab-sahih-bukhari/html,
diakses 4 November 2011.
[14] Lihat Marzuki, “Kritik
Terhadap Kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim”, 31-31. Marzuki mengutip
dari Muhammad Abu Syahbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shahhah al-Sittah
(Kairo: al-Buhuts al-Islamiyyah, 1969), 79.
[15] Metode Jami’; kata
Jami’ berarti sesuatu yang mengumpulkan, menggabungkan, dan mencakup. Dalam
disiplin ilmu hadith, kitab Jami’ adalah kitab hadith dimana metode
penyusunannya mencakup seluruh topic-topik dalam agama. Untuk lebih lanjut
lihat Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000),
78.
[16] M. Syuhudi Ismail, Kaidah
Kesahihan Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 126.
[17]Nani Endri Santi, “Imam Al-Bukhari dan Kitab Sahih Bukhari” dalam http://istanailmu.com/2011/03/20/imam-al-bukhari-dan-kitab-sahih-bukhari/html,
diakses 4 November 2011.
[18]Kritik hadis merupakan upaya
penyeleksian hadith-hadith antara hadith yang sahih dengan hadith yang ḍa’if dan meneliti para periwayatnya, apakah dapat dipercaya dan kuat ingatannya (thiqah) atau tidak. Kritik hadith
sebenarnya sudah dimulai sejak Nabi Muhammad SAW. masih hidup, namun lingkupnya
masih sangat terbatas dan motivasinya juga berbeda dengan kritik hadith pada
masa-masa belakangan.
[19]Lihat
Arifin, Studi Kitab Hadith,104. Dia mengutip dari Shihab al-Din Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani, Hady al-Sari
Muqaddimah Fath al-Bari’ (Mesir: Musthafa al-Babi al
Halabi wa Auladuh, 1963), 364-365.
[20] Lihat Arifin,
Studi Kitab Hadith,
104-105. Dia mengutip
dari
pendapat Ahmad Amin, Duh al-Islam (Mesir: Maktabah al-Nahdah
al-Mishriyah, t.t.), 115-117.
[21]Lihat Santi , “Imam Al-Bukhari dan Kitab
Sahih Bukhari” dalam http://istanailmu.com/2011/03/20/imam-al-bukhari-dan-kitab-sahih-bukhari/html,
diakses 4 November 2011.
[22] Ibid.
Casinos Near Me - Michigan Casinos - Mapyro
BalasHapusFind the best 세종특별자치 출장샵 casinos in MI, MI and play at the top 목포 출장안마 MGM Grand Detroit casinos. MGM Grand Hotel & Casino 경상남도 출장샵 · Grand 경상남도 출장마사지 Detroit Casino Hotel & Spa. 태백 출장샵