Rabu, 25 April 2012

ISLAMISASI DINUSANTARA



 BAB I
PENDAHULUAN
Menyiarkan agama Islam merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim, karena itu diperintahkan oleh islam. Setiap muslim harus menyiarkan agamanya kepada orang lain yang belum mengetahuinya. Hal ini disebabkan karena kebenaran yang terkandung di setiap dada muslim tidak akan diam, kecuali kebenaran itu terwujud dalam pikiran, perkataan dan berbuatan. Dan ia tidak akan merasa puas hingga ia menyampaikan kebenaran itu pada tiap orang, sehingga apa yang ia percayai itu juga diterima sebagai kebenaran oleh anggota masyarakat dan umat manusia umumnya.  
Islam datang ke Indonesia dengan damai pada permulaan abad pertama Hijriyah dan tersiar secara luas baru pada abad XIII masehi. Tersiarnya agama islam ke Indonesia juga benua lainya adalah karena beberapa faktor yaitu sosial, politik, ekonomi dan agama. Islam di indonesia baik secara historis maupun sosiologis sangat komplek, terdapat banyak masalah, misalnya tentang sejarah dan perkembangan awal islam di indonesia, oleh sebab itu para sarjana berbeda pendapat.
Dalam khasanah pendidikan Islam, sejarah perkembangan pendidikan akan selalu menjadi kajian yang menarik untuk dianalisis secara kritis karena akan menempatkan perkembangan pendidikan islam dan intelektual muslim secara objektif dan komprehensif. Oleh karena itu, akan diperoleh gambaran keberadaan, peran, dan kontribusi pendidikan Islam. Sejarah pendidikan Islam awal di Nusantara mulai tumbuh dan berkembang pada saat masuknya pedagang dari Arab dan Gujarat atau masukknya agama islam ke nusantara.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Masuknya Islam Ke Indonesia
Sejarah pendidikan di indonesia tidak terlepas dari sejarah peradapan islam di indonesia, sejarah awal  peradapan islam di indonesia secara historis maupun sosiologis masih banyak perbedan pendapat dikalangan para sejarawan. Ini dikarenakan orang yang terlibat dalam kegiatan dakwah pertama itu tidak bertendensi apapun selain tanggungjawab menunaikan kawajiban tanpa pamrih, sehingga tidak ada catatan sejarah atau prasasti pribadi yang sengaja dibuat mereka untuk mengabadikan peran mereka.  Dan penulisan sejarah indonesia diawali oleh golongan orientalis yang sering ada usaha untuk meminimalisasi peran islam, disamping usaha sarjana muslim yang ingin mengemukakan fakta sejarah yang lebih jujur.
Mengenai islam masuk ke nusantara terdapat beberapa sejarawan yang berbeda pendapat diantaranya, Bukti pertama mengenai agama Islam berasal dari seorang pengelana Venesia bernama Marco polo. Ketika singgah di sebelah utara pulau Sumatera, dia menemukan sebuah kota Islam bernama Perlak yang dikelilingi oleh daerah-daerah non-Islam. Hal ini diperkuat oleh catatan-catatan yang terdapat dalam buku-buku sejarah seperti Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu.
Bukti kedua berasal dari Ibnu Batutah ketika mengunjungi Samudera Pasai pada tahun 1345 megatakan bahwa raja yang memerintah negara itu memakai gelar Islam yakni Malikut Thahbir bin Malik Al Saleh.
Bukti ketiga berasal dari seorang pengelana Portugis bernama Tome Pires, yang mengunjungi Nusantara pada awal abad ke-16. Dalam karyanya berjudul Summa Oriental, dia menjelaskan bahwa menjelang abad ke-13 sudah ada masyarakat Muslim di Samudera Pasai, Perlak, dan Palembang. Selain itu di Pulau Jawa juga ditemukan makam Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik) yang berangka tahun 1082 M dan sejumlah makam Islam di Tralaya yang berasal dari abad ke-13Golongan lain berpendapat bahwa Islam sebenarnya sudah masuk ke Nusantara sejak abad ke-7 Masehi. Pendapat ini didasarkan atas pernyataan pengelana Cina I-tsing yang berkunjung ke Kerajaan Sriwijaya pada tahun 671. Dia menyatakan bahwa pada waktu itu lalu-lintas laut antara Arab, Persia, India, dan Sriwijaya sangat ramai.
Bukti kelima menurut catatan Dinasti Tang, para pedagang Ta-Shih(sebutan bagi kaum Muslim Arab dan Persia) pada abad ke-9 dan ke-10 sudah ada di Kanton dan Sumatera.
Dari uraian diatas, maka masuknya agama islam ke indonesia secara garis besar dapat dibagi menjadi 4 teori :
1.      Islam disiarkan dari India
Pendapat ini dipelopori oleh sarjana belanda diantaranya Snouck Hurgronje yang berpendapat bahwa islam datang ke indonesia pada abad ke 13 M dari gujarat ( bukan dari arab langsung ) dengan bukti ditemukannya makam sultan yang beragama islam pertama Malik as Sholeh, raja pertama kerajaan samudra pasai yang dikatakan berasal dari gujarat.
Dan didasarkan pada asumsi kesamaan mazhab Syafi’iy, kesamaan batu nisan, kemiripan sejumlah tradisi dan arsitektur india dengan nusantara. Teori ini didukung oleh prof. Kern, R.O Winstedt, J. Gonda, dan B.j.o Schrieke.

2.      Islam disiarkan dari Arab
Pendapat ini dikemukakan oleh sarjana muslim diantaranya prof. Hamka, hamka dan teman temannya berpendapat bahwa islam sudah datang ke indonesia pada abad pertama Hijriyah ( ± abad ke 7 sampai 8 M ) langsung dari arab dengan bukti jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional sudah dimulai jauh sebelum abad ke 13 melalui selat malak yang menghubungkan dinasti Tang di cina ( asi timur), sriwijaya di asia tenggara  dan bani umayyah di asia barat.   
Pendukung teori arab ini adalah cwawfurd, keyzer,P.J. Veth dan syeh muhammad Naquib al attas.

3.      Islam disiarkan dari Persia
Islam dari persia berdasarkan asumsi adanya kesamaan pada sejumlah tradisi keagamaan antara persia dengan Indonesia seperti peringatan asyura atau 10 muharram, sistem mengeja huruf arab dalam pengajaran al qur’an khas persia, pemuliaan ahlul bait dari keluarga Ali Bin Abi Tholib. Teori ini didukung oleh P.A. Hoesein Djajadiningrat, Robert N bellah, prof. A. Hasjmi, Prof. Aboebakar Atjeh dan Ph.S. Van Ronkel.

4.      Islam disiarkan dari Cina.
Islam bersal dari cina mendasarkan pada asumsi adanya unsur kebudayaan cina dalam sejumlah unsur kebudayaan islam di Indonesia, terutama berdasarkan sumber kronik dari klenteng sampokong disemarang, Teori ini didukung oleh Prof.Slamet Muljana.

Adapun dalam proses masuknya islam dinusantara ada beberapa jalur yang digunakan untuk penyebaran islam, diantara lain :
1.      Perdagangan, yang mempergunakan sarana pelayaran
2.      Dakwah,yang dilakukan oleh mubaligh yang berdatangan bersama para pedagang, para mubaligh itu bisa dikatakan sebagai sufi pengembara.
3.      Perkawinan , yaitu perkawinan antara pedagang muslim, mubaligh dengan anak bangsawan Indonesia, yang menyebabkan terbentuknya inti sosial yaitu keluarga muslim dan masyarakat muslim.
4.      Pendidikan,Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam. Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, dan ulama-ulama. Di pesantren atau pondok itu, calon ulama, guru agama, dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampong masing-masing kemudian berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan agama Islam
5.      Kesenian, Jalur yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni.
6.      Politik, Di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya masuk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat berpengaruh tersebarnya Islam di daerah ini. Di samping itu, baik di Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia bagian Timur, demi kempentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non-Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara poltik banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam itu masuk Islam.
Penyebaran islam ke nusantara sangat cepat berkembang ke pelosok pelosok terutama pada abad ke 13, penduduk mulai banyak memeluk agama islam,  ini dikarena beberapa faktor,  faktor penyebab Agama Islam dapat cepat berkembang di Nusantara menurut  Hasbullah mengutip pendapat Prof. Mahmud Yunus, antara lain :
a.       Agama Islam tidak sempit dan berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah ditiru oleh segala golongan umat manusia, bahkan untuk masuk agama Islam saja cukup dengan mengucap dua kalimah syahadat saja.
b.      Sedikit tugas dan kewajiban Islam
c.       Penyiaran Islam itu dilakukan dengan cara berangsur-angsur sedikit demi sedikit dengan jalan damai.
d.      Penyiaran Islam dilakukan dengan cara bijaksana.
e.       Penyiaran Islam dilakukan dengan perkataan yang mudah dipahami umum, dapat dimengerti oleh golongan bawah dan golongan atas.

B.     Sejarah Islam Masa Kerajaan Islam Dan Islamisasi Di Berbagai Daerah
1.      Kerajaan Samudara Pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang didirikan pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh tahun 1292 hingga 1297 dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H).
Munculnya daerah tersebut sebagai kerajaan Islam yang pertama diperkirakan mulai abad ke-13. Hal itu dimungkinkan dari hasil proses islamisasi di daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi para pedagang muslim sejak abad ketujuh, Kerajaan Islam Samudra Pasai menjadi pusat studi agama Islam dan meru pakan tempat berkumpul para ulama Islam dari berbagai negara Islam untuk berdis kusi tentang masalah-masalah keagamaan dan masalah keduniawian.
Pada zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M, maka pendidikan juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan Tome Pires, yang menyatakan bahwa “di Samudra Pasai banyak terdapat kota, dimana antar warga kota tersebut terdapat orang-orang berpendidikan”.
Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan bermazhab Syafi’i, mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana. Keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai berikut:
a.       Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at adalah Fiqh mazhab Syafi’i.
b.      Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis ta’lim dan halaqoh
c.       Tokoh pemerintahan merangkap tokoh agama
d.      Biaya pendidikan bersumber dari negara.

2.      Kerajaan Perlak dan daerah Minangkabau
Kerajaan Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang pertama Sultan Alaudin (tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak terjalin kerja sama yang baik sehingga seorang Raja Pasai menikah dengan Putri Raja Perlak. Perlak merupakan daerah yang terletak sangat strategis di Pantai Selat Malaka, dan bebas dari pengaruh Hindu
 Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot Kala. Dayah disamakan dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku Chik M.Amin, pada akhir abad ke-3 H, abad 10 M. Inilah pusat pendidikan pertama.
   Rajanya yang ke enam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun 1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi alim. Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam yaitu suatu Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim. Lembaga tersebut juga mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’i.
Pada tiap tiap negeri (desa) kaum muslimin mendirikan sebuah masjid untuk tempat mengerjakan sembahyang jum’at dan tiap tiap kampung mendirikan surau untuk tempat mengaji al qur’an dan tempat mengerjakan sembahyang lima waktu. Mereka belajar pada guru seorang demi seorang dan belum berkelas kelas, pelajaran mula mula huruf hijaiyah, setelah pandai huruf hijaiyah baru belajar membaca al qur’an .  adapun pelajaran pada pengajian al quran ialah :
1.      Membaca al qur’an ( termasuk huruf hijaiyah )
2.      Ibadah, seperti berwudhu, sembahyang
3.      Keimanan ( sifat dua puluh, hukum wajib, mustahil dan jaiz.
4.      Ahklak ( dengan bercerita )
Setelah dari belajar di pengajian al qur’an sebagian mereka pergi ketengah masyarakat mengamalkan ilmunya ada juga yang meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu pengajian kitab, adapun kit terdiri dari :
1.      Ilmu sharaf / nahu dengan kitab nya kitab dhammun, al awamil, al kalamu, ajrumiah
2.      Ilmu fiqh dengan kitab al minhaj,
3.      Ilmu tafsir dan lain lain kitab tafsir al jalalain

3.      Kerajaan Aceh Darussalam
Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah (1507-1522 M). Bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan Kerajaan Aceh adalah Gampong (Kampung), yang dikepalai oleh seorang Keucik dan Waki (wakil).

            Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat di setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:
Sebagai tempat belajar Al-Qur’an dan Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam.
Selanjutnya sistem pendidikan di Dayah (Pesantren) seperti di Meunasah tetapi materi yang diajarkan adalah kitab Nahu, yang diartikan kitab yang dalam Bahasa Arab, meskipun arti Nahu sendiri adalah tata bahasa (Arab). Dayah biasanya dekat masjid, meskipun ada juga di dekat Teungku yang memiliki dayah itu sendiri, terutama dayah yang tingkat pelajarannya sudah tinggi.
Diantara para ulama dan pijangga yang pernah datang ke kerajaan Aceh antara lain Muhammad Azhari yang mengajar ilmu Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh Hajar ahli dalam bidang pogmatic dan mistik, Muhammad Yamani ahli dalam bidang ilmu usul fiqh dan Syekh Muhammad Jailani Ibn Hasan yang mengajar logika

4.      Kerajaan Malaka
Kerajaan Samudera Pasai makin berkembang dalam bidang agama Islam, politik, perdagangan, dan pelayaran. Hubungan dengan Malaka makin ramai, sehingga di Malaka pun sejak abad ke-14 timbul corak masyarakat muslim. Para penganut agama Islam diberi hak-hak istimewa, bahkan telah dibangunkan sebuah masjid untuk mereka. Para pedagang yang singgah di Malaka kemudian banyak yang menganut agama Islam dan menjadi penyebar agama Islam ke seluruh kepulauan Nusantara, tempat mereka mengadakan transaksi perdagangan.
Kerajaan Malaka pertama kali didirikan oleh Paramisora pada abad ke-15. Menurut cerita, sesaat sebelum meninggal dalam tahun 1414, Paramisora masuk Islam, kemudian berganti nama menjadi Iskandar Syah. Selanjutnya, kerajaan Malaka dikembangkan oleh putranya yang bernama Muhammad Iskandar Syah (1414–1445). Pengganti Muhammad Iskandar Syah adalah Sultan Mudzafar Syah (1445–1458). Di bawah pemerintahannya, Malaka menjadi pusat perdagangan antara Timur dan Barat, dengan kemajuan-kemajuan yang sangat pesat, sehingga jauh meninggalkan Samudra Pasai. Usaha mengembangkan Malaka hingga mencapai puncak kejayaannya dilakukan oleh Sultan Mansyur Syah (1458–1477) sampai pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Syah (1477–1488.


5.      Islam Di Sulawesi dan Maluku
Sementara itu, kedatangan pengaruh Islam ke wilayah Indonesia bagian timur (Sulawesi dan Maluku) tidak dapat dipisahkan dari jalur perdagangan yang terbentang antara pusat lalu lintas pelayaran internasional di Malaka, Jawa, dan Maluku. Menurut tradisi setempat, sejak abad ke-14, Islam telah sampai ke daerah Maluku. Disebutkan bahwa kerajaan Ternate ke-12, Molomateya (1350–1357), bersahabat karib dengan orang Arab yg memberinya petunjuk dalam pembuatan kapal, tetapi agaknya tidak dalam kepercayaan.
Islam masuk di Maluku dibawa oleh muballigh dari Jawa sejak zaman Sunan Giri dan dari Malaka. Raja Maluku yang pertama masuk Islam adalah Sultan Ternate bernama Marhum pada tahun 1465-1486 M, atas pengaruh Maulana Husain, saudagar dari Jawa. Raja Maluku yang terkenal di bidang pendidikan dan dakwah islam ialah Sultan Zainul Abidin, tahun 1486-1500 M. Dakwah Islam di Maluku menghadapi dua tantangan, yaitu yang datang dari orang-orang yang masih animis dan dari orang Portugis yang mengkristenkan penduduk Maluku
Kerajaan yang mula-mula berdasarkan Islam adalah kerajaan Kembar Gowa Tallo tahun 1605 M. Rajanya bernama I. Malingkaang Daeng Manyonri yang kemudian berganti nama dengan Sultan Abdullah Awwalul Islam.
Dari Sulawesi Selatan, agama Islam mengembang ke Sulawesi Tengah dan Utara. Islam masuk daerah Manadopada zaman Sultan Hasanudin, ke daerah Bolaang Mangondow di Sulawesi Utara pada Tahun 1560 M, ke Gorontalo tahun 1612 M. buku-buku lama di Gorontalo di tulis dengan huruf Arab.
Agama Islam yang telah kuat di Sulawesi Selatan itu menjalar masuk ke Kepulauan Nusa Tenggara, yaitu ke Bima (Sumbawa) dan Lombok, agama Islam ini dibawa oleh pedagang-pedagang Bugis. Sumbawa dikuasai kerajaan Gowa pada tahun 1616 M.
Pada masa pemerintahan Marhum di Ternate, datanglah seorang raja dari Jawa yang bernama Maulana Malik Husayn yang menunjukkan kemahiran menulis huruf Arab yang ajaib seperti yang tertulis dalam Alquran. Hal ini sangat menarik hati Marhum dan orang-orang di Maluku. Kemudian, ia diminta oleh mereka agar mau mengajarkan huruf-huruf yang indah itu. Sebaliknya, Maulana Malik Husayn mengajukan permintaan, agar mereka tidak hanya mempelajari huruf Arab, melainkan pula diharuskan mempelajari agama Islam. Demikianlah Maulana Malik Husayn berhasil mengislamkan orang-orang Maluku. Raja Ternate yang dianggap benar-benar memeluk Islam adalah Zainal Abidin (1486–1500).
Diantara ulama besar kelahiran Sulawesi sendiri ialah Syekh Maulana Yusuf yang belajar di Makkah pada tahun 1644 M. ia pulang keIndonesiadan menetap di Banten. Banyak santrinya datang dari Makasar, kemudian karena memberontak, dibuang oleh Belanda ke SriLanka dan wafat di Afrika Selatan. Jenazahnya dipulangkan ke Makasar dan dikubur disana. Ia mengarang kitab Tasawuf dalam Bahasa Arab, Bugis, Melayu dan Jawa.

6.      Islamisasi Di jawa
Kerajaan islam pertama jawa yaitu demak, berdiri diikuti kerajaan cirebon dan banten di jawa barat. Demak berhasil mengatikan majapahit, dilanjutkan oleh kerajaan pajang, kemudian mataram, ulama ulama yang berperan dalam usaha islamisasi di jawa adalah wali songo Adapun para wali tersebut :
  1. Sunan Ngampel atau Raden Rahmat dari  Ampel  (Surabaya)
  2. Sunan Giri atau Raden Paku dari Giri dekat Gresik
  3. Malik Ibrahim atau Maulana Magribi dari Gresik
  4. Sunan Drajat dari Sidayu Lawas
  5. Sunan Bonang atau Makdum Ibrahim dari Tuban
  6. Sunan Kudus
  7. Sunan Murya
  8. Sunan Kalijaga atau Seda Lepan atau Sahid Djaka dari Kadilanggu
  9. Sunan Gunung Jati dari Gunung Jati utara Cirebon
Kesembilan wali tersebut dapat digolongkan atas tiga golongan, yaitu para wali di Jawa Timur, para wali di Jawa Tengah, para wali di Jawa Barat. Beberapa nama wali lokal : Syeh Abdulmuhyi dari Pamaijahan (Tasikmalaya), Syeh Siti Jenar atau syeh Lemah Abang dari Pamlaten (Cirebon), Sunan Geseng dkk dari Tirta (Magelang), Sunan Tembayat atau Ki Pandanarang dari Bayat (Klaten), Sunan Panggung dari Tegal
Wali songo melakukan proses Islamisasi dengan menghormati dan mengakomodasi tradisi masyarakat serta institusi pendidikan dan keagamaan sebelumnya. Padepokan diubah secara perlahan, dilakukan perubahan sosial secara bertahap, mengambil alih pola pendidikan dan mengubah bahan dan materi yang diajarkan dan melakukan perubahan secara perlahan mengenai tata nilai dan kepercayaan masyarakat, perubahan sosial, tata nilai, dan kepercayaan. Hal ini menciptakan alkulturisasi budaya termasuk pedoman hidup masyarakat, pemenuhan kebutuhan hidup, dan operasionalisasi kebudayaan melalui pranata-pranata sosial yang ada di masyarakat, yaitu pedoman moral atau hidup, etika, estetika, dan nilai budaya (adanya simbol-simbol dan tanda-tanda). Proses akulturisasi yang berjalan dengan baik akan menghasilkan integrasi unsur kebudayaan asing dengan kebudayaan setempat. Menurut Coser dan Rosenberg, kelompok primer  yaitu agen sosialisasi (Wali Songo)  yang menggerakkan pengalihan kepercayaan, pedoman hidup, dari agama Hindu-Budha menjadi Islam.




DAFTAR PUSTAKA

A. Hasymy, Sejarah masuk dan Berkembangnya islam di Indonesia, ( Bandung: AlMaarif, 1981) hal 358
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001, hal 19-20
Ibrahim, M, et.al., Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta : CV. Tumaritis, 1991, hal 61
Mustofa, Aly A,  Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999) hal 54
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005)
Sunyoto, Agus, Wali songo: Rekontruksi sejarah yang disingkirkan, (Jakarta: Traspustaka, 2011) hal 224
Yunus,.Mahmud “Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia”,( Jakarta: Hidakarya Agung. 1996), hal 34
Zauharini., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2000, set 6 hal 135-136



Kamis, 05 Januari 2012

KITAB HADĪTH KUTUB AL-SITTAH


KITAB HADĪTH KUTUB AL-SITTAH; SAHH AL-BUKHR
(Biografi, Metode dan Sistematika SahÌh al-BukhªrÌ, Pandangan serta Kritik Terhadap SahÌh al-BukhªrÌ)
Oleh: MOH. SYAFI’IL ANAM (921111040)
                                                                                                    
A.       Latar Belakang

"الخط يبقى زمانا بعد صاحبه وكاتب الخط تحت الأرض مدفون"
“Karya-karya tulis akan kekal sepanjang masa, sementara penulisnya hancur terkubur dibawah tanah”.
Agaknya ungkapan indah dan sarat makna diatas relevan dan dirasa selaras dengan tema sentral dalam makalah ini.  Membincang tentang diskursus hadÌth merupakan suatu hal yang sangat melelahkan dan menguras tenaga serta pikiran dalam proses penelaahannya. Perkembangan hadith ditandai dengan aktivitas penghimpunan hadith Nabi Muhammad SAW. yang dilakukan oleh para ulama’ hadith. Dalam kegiatan penghimpunan hadith tersebut, ulama’ hadith mengadakan perlawatan ke berbagai daerah untuk mengunjungi tempat tinggal para periwayat hadith. Dan tidak mengherankan bila seorang ulama’ dapat menghabiskan waktu belasan atau berpuluh tahun untuk menyusun sebuah kitab hadith.
Pada akhir abad kedua sampai abad keempat hijrah, muncullah kitab-kitab hadith Nabi dengan pengaturan, metode dan sistematika tertentu. Salah satunya dikenal dengan Kutub al-Sittah. Di antara kitab-kitab hadith tersebut yang paling mashhur adalah SahÌh al-BukhªrÌ yang diakui sebagai kitab yang paling utama dan memiliki tingkat kredibilitas yang tinggi oleh umat Islam.
Untuk memperdalam khazanah pengetahuan terhadap kitab-kitab hadith, dalam makalah ini akan dikupas secara singkat tentang kitab Hadith Kutub Al-Sittah; Sah Al-Bukhā, yang dikhususkan pada biografi dari Imªm al-BukhªrÌ, metode, sistematika dan pandangan serta kritik terhadap SahÌh al-BukhªrÌ.
B.       Rumusan Masalah
1.         Bagaimana biografi dari Imªm al-BukhªrÌ ?
2.         Bagaimana metode dan sistematika SahÌh al-BukhªrÌ ?
3.         Bagaimana pandangan dan kritik terhadap SahÌh al-BukhªrÌ ?





















PEMBAHASAN


A.   Biografi Imªm al-BukhªrÌ
1.      Nama dan Kunniyah, dan Naab Imªm al-BukhªrÌ
Nama lengkap dari al-Bukhārī adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughīrah bin Bardizbah (ada yang berpendapat Badzduzbah) al-Ju’fi al-Bukhārī.[1] Adapun kunniyah al-Bukhārī adalah Abū ‘Abdillah. Sedangkan naab beliau merupakan keturunan salah seorang ulama’ hadith yang sangat terkenal yaitu Isma’il[2] dan Ibu beliau merupakan wanita yang taat beribadah. Kakek-kakek al-Bukhārī beragama Majusi, kakeknya yang mula-mula memeluk Islam ialah al-Mughīrah yang di Islamkan oleh Al-Yaman bin Anhas al-Ju’fi seorang gubernur Bukhara tatkala itu, karena itulah kemudian beliau dinaṣabkan dengan al-Ju’fi atas dasar wala`ul Islam.[3]    
2.      Kelahiran, Asal Negeri dan Wafatnya al-BukhªrÌ
Sang alim ini bukanlah orang ‘Arab, beliau lahir di negeri Bukhāra, suatu kota di Uzbekistan, wilayah Uni Soviet yang merupakan simpang jalan antara Rusia, Persi, Hindia dan Tiongkok. Beliau lebih dikenal dengan nama Bukhārī (putra daerah Bukhārā). Beliau dilahirkan seusai shalat Jumat, pada tanggal 13 bulan Syawal tahun 194 H (21 Juli 810 M).[4] Imam al-Bukhārī wafat pada tahun 256 H (bertepatan dengan 31 Agustus 870 M) hari sabtu malam ‘Idul Fitri, dalam usia 62 tahun kurang 13 hari di suatu perkampungan di Samarkand.[5]
3.      Bentuk Fisik dan Akhlak al-BukhªrÌ
Imām yang dijuluki amīrul Mukminīn fil Hadith tersebut telah nampak kecerdasannya sejak belia, ia adalah seorang yang bertubuh kurus, tidak tinggi dan juga tidak pendek serta berkulit kecoklatan. Beliau merupakan satu dari tanda kebesaran Allah SWT di muka bumi ini, dikenal masyarakat dengan kewara’annya, penyayang, dan merupakan sosok teladan dalam berinfaq. Beliau juga seorang yang banyak beribadah pada malam hari, sedikit makan, banyak membaca al-Quran, cekatan dalam mengendarai kuda dan piawai dalam membidikkan panah.[6]
4.      Perkembangan Ilmu al-BukhªrÌ dan Rihlah dalam Menuntut Ilmu
Allah SWT telah mengaruniakan kepada beliau hati yang bersih, otak yang cerdas, dan hafalan yang sangat kuat hingga boleh dikatakan bahwa dalam usia yang sangat muda beliau telah sejajar dengan beberapa ulama’ di negaranya. Dalam  usianya yang masih relatif muda (11 tahun), al-Bukhārī sudah mulai menuntut ilmu dan menghafal beberapa buku yang ditulis oleh para imam hadith di negerinya.
Pada tahun 210 H al-Bukhārī bersama ibu dan saudaranya pergi ke Hijaz  (Makkah) untuk melakukan ibadah haji. Selanjutnya al-Bukhārī menetap di Madinah dan menulis kitab sejarah yang diberi nama al-Tarīkh al-Kabīr, di samping makam Nabi Muhammad SAW. al-Bukhārī memberikan tambahan pada kitab ini dua kali di akhir hidupnya. Al-Bukhārī termasuk orang yang sangat cerdas dan memiliki hafalan  yang sangat kuat. Ia menghafal 100.000 hadith ahīh dan 200.000 hadih yang tidak ahīh, di samping juga menguasai berbagai ilmu, terutama yang terkait dengan hadith. Berkat kesabaran, kecerdasan, dan cintanya terhadap ilmu, al-Bukhārī mencapai derajat tertinggi dalam hadith pada zamannya. Dia mendapat gelar Imam  al-Mu’minin fi al-Hadith atau Amir al-Mu’minin fi al-Hadith.[7]
Selain di Mekkah dan Medinah beliau juga telah mengadakan rihlah[8] untuk menuntut ilmu ke berbagai negara diantaranya Syam (Damaskus dan sekitarnya), Mesir, Kufah, Bashrah dan Baghdad.
5.      Guru-Guru dan Murid al-BukhªrÌ
Adapun guru-guru dari al-Bukhārī yang terkenal, antara lain adalah:
a.         Abū ‘Aim An-Nabil, ahhak bin Makhlad Ash-Shaibani Al-Bari (wafat 212 H).
b.         Abū Nu’aim, Fal bin Dukain (wafat tahun 218/219 H).
c.         Abū Raja’ Al-Baghlani, Qutaibah bin Said bin Jamil Al-thaqafi (wafat 240 H).
d.        Abū ‘Abdillah Nu’aim bin Hammad Al-Marwazi (wafat tahun 228 H); seorang faqih dan menguasai ilmu Farai serta salah seorang imam ahli sunnah yang tegas terhadap ahli bid’ah
e.         Abul Husain Ali bin Abdullah Al-Madīni (wafat 234 H); salah seorang imam dan ulama yang paling ahli di bidang hadith dan ‘ilal pada zamannya.
f.          Abū Zakariyya Yahya bin Ma’in Al-Baghdadi (wafat tahun 233 H); salah seorang hafi dan imam yang tenar terutama dalam ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil.
g.         Abū Muhammad, Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali, yang lebih dikenal dengan Ibnu Rahawaih (wafat 238 H); hafi, mujtahid dan rekan Imam Ahmad. Beliaulah yang mengusulkan pertama kali untuk mengumpulkan hadith-hadith shahīh dalam satu kitab.
h.         Abū ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal Ash-Shaibani (wafat 241 H); imam Ahli Sunnah wal Jamā’ah, faqihul muhaddithin dan muhaddithul fuqahā`.
i.           Abu Bakar, Abdullah bin Muhammad bin Abi Shaibah Al-Kufi (wafat 235 H); hafi dan penyusun kitab Al-Muannaf.
j.           Muhammad bin Yahya Az-Zuhli Al-Naisaburi (wafat 258 H); seorang hafi yang mulia, guru sekaligus rekan Imām Bukhārī.

Diantara murid-murid dari al-Bukhārī yang terkenal adalah:
a.         Abul Husain Muslim bin Hajjaj Al-Naisaburi (wafat 261 H); penyusun kitab ahīh Muslim.
b.         Abū Isa Muhammad bin Isa Tirmidzi (wafat 279 H); penyusun kitab Jami’ atau Sunan Tirmidzi dan beliau salah seorang murid yang terdekat dengan Imām Bukhārī.
c.         Abū Abdirrahman Ahmad bin Shu’aib Al-Nasa`i (wafat 303 H); penyusun kitab Al-Mujtaba’ atau Sunan Nasa`i.
d.        Abū Muhammad Abdullah bin Abdirrahman Al-Darīmi (wafat 255 H); penyusun kitab Sunan Darimi.
e.         Abū Abdillah Muhammad bin Nar Al-Marwazi (wafat 294 H); faqih, hafi, imam dan penulis beberapa kitab yang bermanfaat seperti Ta’im Qadri Al- Ṣōlah dan Qiyām Al-Lail.
f.          Abū Hātim Muhammad bin Idris Al-Hanzali Al-Rāzi (wafat 277 H); hafi dan salah seorang ulama’ al-jarh wa at-ta’dil.
g.         Abū Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (wafat 311 H); imamnya para imam dan penyusun kitab ahīh Ibn Khuzaimah.[9]


6.      Buah Karya al-BukhªrÌ
Adapun sumbangsih atau karya-karya monumental dari Al-Bukhārī antara lain  adalah: Al-Jami’ As-ahīh (yang lebih dikenal sebagai ahīh Al-Bukhārī, kitab ini berada pada posisi kedua setelah Al-Quran dalam tingkat kesahihannya), Al-Adab al-Mufrad, A-u'afa a-aghir, Al-Tarikh a-aghir, At-Tarikh al-Ausa, At-Tarikh al-Kabir, At-Tafsir al-Kabir, Al-Musnad al-Kabir, Kazaya ahabah wa Tabi'in, Kitab al-Ilal, Raf'ul Yadain fi a-alah, Birr al-Walidain, Kitab ad-Du'afa, Asami a-ahabah, Al-Hibah, Khalq Af'al al-Ibad, Al-Kuna dan Al-Qira'ah Khalf al-Imam.[10]

B.  Metode dan Sistematika SahÌh al-BukhªrÌ
Dari sekian banyak buah karya Imām al-BukhªrÌ, yang paling masyhur adalah kitab Ṣahīh al-BukhªrÌ. Adapun judul lengkap dari kitab tersebut adalah Al-Jāmi’ al-Musnad al-Ṣahīh al-Mukhtasar min Umur Rasūlillah wa Sunanih wa Ayyāmih. Kitab ini disusun dalam kurun waktu lebih kurang 16 tahun.[11] Jumlah hadith yang dituliskan dalam kitab jami’nya sebanyak 6.397 buah dengan terulang-ulang, belum dihitung yang mu’allaq dan mutabi’, yang mu’allaq sejumlah 1.341 buah dan yang mutabi’ sebanyak 384 buah. Jadi, seluruhnya berjumlah 8.122 buah di luar yang maqtu’ dan mauquf. Sedang jumlah yang tulen saja, yakni yang tanpa berulang, tanpa mu’allaq dan mutabi’ adalah 2.513 buah.[12]   terjadi perhitungan berbeda diantara para ahli hadith tersebut dalam mengomentari kitab Ṣahīh al-BukhªrÌ, hal tersebut semata-mata dikarenakan perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadith.[13]
Banyak ulama hadith yang menaruh perhatian terhadap kitab Ṣahīh al-BukhªrÌ. Di  antara mereka ada yang kemudian membuat syarh dan Mukhtashar dari kitab tersebut. Di  antara kitab Syarah yang ditulis dalam hal ini adalah al-Kawakib al-Ḍarari fi Syarh al-Bukhari tulisan al-‘Allamah Syamsuddin Muhammad bin Yusuf bin ‘Ali al-Kirmani,  Fath al-Bari bi Syarh Ṣahīh al-BukhªrÌ tulisan Ibnu Hajar al-‘Asqallani, ‘Umdat al-Qari’  tulisan Badruddin Mahmud bin Ahmad al-‘Aini, dan Irsyad al-Syari ila Ṣahīh al-BukhªrÌ tulisan Syihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Khathib al-Miṣri al-Syafi’i atau yang  terkenal dengan nama al-Qasthallani. Disamping kitab syarah terdapat pula kitab ringkasannya, berikut adalah nama-nama kitab Mukhtashar Ṣahīh al-BukhªrÌ di antaranya adalah Bahjat al-Nufus wa Ghayatuha bi Ma’rifat Mā Lahā wa Mā ‘Alaiha tulisan Abu Muhammad ‘Abdullah bin Sa’d bin Abi Jamrah al-Andalusi dan Mukhtashar tulisan Zainuddin Abī al-Abbas Ahmad bin ‘Abdullaṭif al-Sharji al-Zubaidi.[14]
Adapun metode atau cara-cara yang ditempuh oleh Imªm al-BukhªrÌ dalam rangka mempertanggungjawabkan kesahihan hadits-hadithnya ialah dengan menggunakan metode Jami’[15] dengan menerapkan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dengan disiplin ilmu hadith, sebagaimana diutarakan oleh M. Syuhudi Ismail, yaitu:
1.        Menta’dil dan mentarjih.
2.        Memakai sharat mu’asarah dan liqa’.
3.        Menggunakan sharat-sharat yang sudah disepakati para ulama’, yaitu bahwa perawi haruslah seorang muslim, berakal, jujur, memiliki sifat adil, kuat ingatannya, sedikit melakukan kesalahan, sanadnya bersambung dan matannya tidak janggal.[16]
Berdasarkan hal diatas maka Imªm al-BukhªrÌ adalah seorang ulama’ yang paling ketat dalam mengajukan sharat-sharat kesahihan sebuah Hadith, dan ia juga sangat teliti dalam meriwayatkan Hadith.
Sedangkan sistematika pembahasan dalam Ṣahīh al-BukhªrÌ dikelompokkan berdasarkan topik-topik tertentu yang tersusun dalam beberapa kitab dan bab. Jumlah hadith dalam setiap kitab dan bab bervariasi. Pada satu bab bisa memuat hadith yang banyak, namun pada bab yang lain bisa hanya memuat satu atau dua hadith saja. Bahkan pada beberapa bab hanya berisi ayat-ayat al-Quran saja tanpa satu pun hadith didalamnya, atau hanya terdapat judul bab tanpa ada satu pun hadith maupun ayat-ayat al-Quran di dalamnya, untuk memudahkan baginya menemukan hadith sesuai dengan bab tersebut pada suatu saat. Konten atau Isi kitab Ṣahīh al-BukhªrÌ dibagi ke dalam lebih dari 100 bagian  dan  3.450 bab yang dimulai dari pembahasan tentang wahyu dan ditutup dengan pembahasan tauhid.
Adapun teknik penulisan yang digunakan oleh al-BukhªrÌ adalah:
  1. Memulainya dengan menerangkan wahyu, karena ia adalah dasar segala syari’at;
  2. Kitabnya tersusun dari berbagai tema;
  3. Setiap tema berisi topik-topik ;
  4. Pengulangan hadith disesuaikan dengan topik yang dikehendaki tatkala mengistinbatkan hukum.[17]

C.  Pandangan dan Kritik Terhadap SahÌh al-BukhªrÌ
Telah menjadi kesepakatan ulama’ dan umat Islam bahwa kitab Ṣahīh al-BukhªrÌ adalah kitab yang paling mashhur, otentik dan menduduki tempat terhormat setelah al-Quran. Diantara para ulama yang  mengemukakan demikian adalah Ibnu Salah, beliau mengemukakan bahwa kitab yang paling otentik sesudah al-Quran adalah Ṣahīh al-BukhªrÌ. Meskipun dinilai paling otentik setelah Alqur’an dan menduduki tempat terhormat, namun kitab Ṣahīh al-BukhªrÌ tetaplah buah karya manusia yang tidak pernah luput dari kekurangan, kelemahan dan kritik.[18] Ṣahīh al-BukhªrÌ mendapat lontaran kritik, baik dari segi sanad maupun matannya, baik dikalangan ulama sendiri maupun orang non muslim.
Salah satu pandangan kritis terhadap kitab Ṣahīh al-BukhªrÌ dilontaran oleh Ibn Hajar al-Asqalani yang mengutarakan bahwa dalan bab-bab dari kitab tersebut ada yang berisi ayat-ayat al-Quran an sich, beberapa hadith, ada juga yang berisi satu ayat dan satu hadith.  Imªm al-BukhªrÌ kadangkala mengungkapkan hadith dalam keadaan terpotong-potong dan kadang-kadang singkat. Selain itu ada pula hadith-hadith yang dikemukakan tanpa sanad. Hal tersebut dilakukan bilamana sudah diketahui atau dikenal secara umum.[19]
Lontaran kritik lainnya diungkapkan oleh ulama’ kontemporer yaitu Ahmad Amin dalam kitab Duh al-Islam, yang mengutarakan bahwa:
1.         Sistematika yang dipakai oleh al-BukhªrÌ dalam menyusun kitabnya mengikuti pola yang biasa digunakan kitab fiqih. Pola tersebut menimbulkan kesan bahwa al-BukhªrÌ cenderung menekankan pada usaha mengistimbatkan hokum-hukum fiqih dengan hadith-hadithnya. Namun demikian, ternyata kitab tersebut tidak hanya memuat maslah-masalah fiqih saja, tetapi juga diselingi dengan materi-materi yang lain. Tambahnya, dalam memberikan judul tampaklah kelemahannya, karena sebagian judul yang ada sulit dipahami dalam kaitannya dengan hadith yang terdapat dalam judul itu. 
2.         Hadith yang termaktub dalam kitab Ṣahīh al-BukhªrÌ disebut secara terpotong-potong. Bahkan sebagian disebutkan pada suatu bab tertentu dan potongan lainnya disebutkan pada bab yang lain. Berkaitan dengan persolalan tersebut,  al-BukhªrÌ pada sebagian tempat memakai sanad yang muttasil (bersambung) dan pada bagian yang lain memakai sanad munqati’ (terputus).
3.         Terdapat 80 rawi hadith dalam Ṣahīh al-BukhªrÌ yang mendapat krtitikan karena tidak thiqah.[20]

Selain pendapat tersebut di atas, kaum orientalis, seperti Ignaz Goldziher, A.J. Wensik dan Maurice Bucaille, turut juga mengajukan kritik, yang kemudian dikenal dengan kritik matan hadith. Menurut mereka, para ahli hadith terdahulu hanya mengkritik hadith dari sanad atau perawi saja, sehingga banyak hadith yang terdapat dalam Ṣahīh al-BukhªrÌ yang kemudian hari ternyata tidak sahih ditinjau dari segi sosial, politik, sains dan lain-lain. Di antara hadith yang dikritik itu adalah hadith yang berasal dari al-Zuhri, bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, yaitu Masjid al-Haram, Masjid Rasul, dan Masjid al-Aqsa”. hadith ini menurut Goldziher adalah hadith palsu yang sengaja dibuat al-Zuhri untuk kepentingan politik semata. Sedangkan hadith tentang “Lalat masuk air minum”, “Demam berasal dari neraka”, dan “Perkembangan embrio” dikritik Maurice Bucaille karena isinya bertentangan dengan sains.[21]
Menanggapi kritikan orientalis tersebut, Muhammad al-Ghazali menyatakan apabila suatu hadith bertentangan dengan sains, hadith itu harus ditolak meskipun ia terdapat dalam Ṣahīh al-BukhªrÌ, sebab menurutnya, al-BukhªrÌ itu bukan seorang yang ma’sum. Seperti hadith tentang “Seandainya tidak ada Bani Israil, makanan dan daging tidak akan busuk” adalah hadith ḍa’if karena tidak sesuai dengan sains. Kritik-kritik dari kaum orientalis dan ulama kontemporer tersebut telah mendorong lahirnya para pembela Imam Bukhari untuk menyanggah kritik-kritikan tersebut seperti Muhammad Mustafa ‘Azami dan Mustafa al-Siba’i dengan sanggahan itu membuat semakin menambah kualitas Ṣahīh al-BukhªrÌ dan mendorong munculnya ulama hadith sesudah al-BukhªrÌ untuk membuat syarah maupun ikhtisar kitab sahih ini, dan membuat jawaban yang lebih luas dan mendalam terhadap kritik-kritik ini.[22]
Ṣahīh al-BukhªrÌ menurut Ahmad Umar Hashim dalam kitabnya Qawāid Uṣul al-Hadith dikatakan sebagai kitab al-Kutub al-Sittah ranking pertama dan paling baik, al-BukhªrÌ merupakan sosok yang sangat hati-hati dalam menulis para perawi hadith sehingga buah karyanya disebut-sebut sebagai kitab paling sah setelah al-Quran. Beberapa kritikan diatas merupakan potret dinamika khazanah keilmuan dalam rangka memunculkan konsep-konsep baru dalam bidang hadith, baik yang terlontar dari kalangan intern umat Islam sendiri maupun non muslim.




















PENUTUP

A.  Kesimpulan
Nama lengkap dari al-Bukhārī adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughīrah bin Bardizbah (ada yang berpendapat Badzduzbah) al-Ju’fi al-Bukhārī. Ia  dilahirkan seusai shalat Jumat, pada tanggal 13 bulan Syawal tahun 194 H (21 Juli 810 M). Imam al-Bukhārī wafat pada tahun 256 H (bertepatan dengan 31 Agustus 870 M) hari sabtu malam ‘Idul Fitri, dalam usia 62 tahun kurang 13 hari di suatu perkampungan di Samarkand. Ia adalah sosok tauladan umat, seorang yang bertabiat baik, bertubuh kurus, tidak tinggi dan juga tidak pendek serta berkulit kecoklatan. Al-Bukhārī termasuk orang yang jenius, cerdas dan memiliki hafalan  yang sangat kuat. Salah satu karya monumental dari Al-Bukhārī adalah: Al-Jami’ As-ahīh (yang lebih dikenal sebagai ahīh Al-Bukhārī, kitab ini berada pada posisi kedua setelah Al-Quran dalam tingkat kesahihannya).
Metode atau cara-cara yang ditempuh oleh Imªm al-BukhªrÌ dalam rangka mempertanggungjawabkan kesahihan hadits-hadithnya ialah dengan menggunakan metode Jami’ dan dengan menerapkan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dengan disiplin ilmu hadith, yaitu menta’dil dan mentarjih, memakai sharat mu’asarah dan liqa’ dan menggunakan sharat-sharat yang sudah disepakati para ulama’. Sedangkan sistematika pembahasan dalam Ṣahīh al-BukhªrÌ dikelompokkan berdasarkan topik-topik tertentu yang tersusun dalam beberapa kitab dan bab. Jumlah hadith dalam setiap kitab dan bab bervariasi. Konten dari kitab Ṣahīh al-BukhªrÌ dibagi ke dalam lebih dari 100 bagian  dan  3.450 bab yang dimulai dari pembahasan tentang wahyu dan ditutup dengan pembahasan tauhid.
Ṣahīh al-BukhªrÌ mendapat berbagai lontaran dan pandangan kritis, baik dari segi sanad maupun matannya, diantaranya adalah Ibnu Salah, Ibn Hajar al-Asqalani, ulama’ kontemporer seperti Ahmad Amin dan Muhammad al-Ghazali, Muhammad Mustafa ‘Azami dan Mustafa al-Siba’I, Ahmad Umar Hashim dan lain sebagainya. Selain pendapat kritis tersebut, kaum orientalis, seperti Ignaz Goldziher, A.J. Wensik dan Maurice Bucaille juga ikut andil dalam menanggapi karya monumental dari al-BukhªrÌ. berbagai pandangan dan krtitikan tersebut dating dari kalangan umat islam sendiri maupun orang non muslim.


[1]Lihat Zainul Arifin, Studi Kitab Hadith (Surabaya: Al-Muna, 2010), 97. Arifin mengutip dari M.M Abu Shuhbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Sihah al-Sittah (Kairo: Majma’ al-Buhus al-Islamiyah, 1969), 43.
[2] Isma’il adalah seorang ‘ulamā’ hadith yang pernah belajar Hadith kepada beberapa ahli Hadith terkenal di antaranya Hammad ibn Zaid, Imām Mālik ibn Anas, dan Ibn Mubārak. Dalam kitab ats-Tsiqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara' dalam arti berhati hati terhadap hal hal yang bersifat syubhat (ragu-ragu) hukumnya terlebih lebih terhadap hal yang haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan murid dari Imam Mālik, seorang ‘ulamā’ besar dan ahli fiqih. Ayahnya wafat ketika Bukhārī masih kecil. Lihat “Imam Bukhari” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Bukhari, diakses 5 November 2011.
[3] Lihat Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadith (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 171.
[4] Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahu’l Hadits (Bandung: PT Alma’arif, 1974), 375-376.
[5]Jenazah al-Bukhārī dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Beliau meninggal tanpa meninggalkan seorang anakpun. Lihat Sejarah Singkat Imam Bukhari dalam http://opi.110mb.com/haditsweb/sejarah/sejarah_singkat_imam_bukhari.htm, diakses 4 November 2011.
[7] Marzuki, “Kritik Terhadap Kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim”, Humanika, Volume 6, Nomor 1 (Maret 2006), 28-29.
[8]Dalam setiap perlawatannya yang melelahkan itu, Imam Bukhārī senantiasa menghimpun hadith-hadith dan ilmu pengetahuan dan mencatatnya sekaligus. Di tengah malam yang sunyi, ia bangun dari tidurnya, menyalakan lampu dan menulis setiap masalah yang terlintas di hatinya, setelah itu lampu di padamkan kembali. Perbutan ini ia lakukan hampir 20 kali setiap malamnya. Ia merawi hadith dari 80.000 perawi, dan berkat ingatannya yang memang super jenius, ia dapat menghapal hadith sebanyak itu lengkap dengan sumbernya. Lihat “Para Imam al-Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadits Utama)” dalam http://madrasahmassahar.blogspot.com/2010/04/para-imam-penghimpun-hadits-al-kutubus.html, diakses 5 november 2011.
[10]“Imam Bukhari” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Bukhari, diakses 5 November 2011.
[11]Imām al-BukhªrÌ mulai membuat kerangka penulisan kitab tersebut pada saat ia berada di Masjidil Haram, Mekkah, dan secara terus menerus dia menulis kitab tersebut sampai kepada draft terakhir yang dikerjakannya di Masjid Nabawi di Madinah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan Imām al-Bukhārī menyusun kitab ini, diantaranya adalah: kondisi saat itu yang langka akan kitab yang benar-benar bisa dijadikan rujukan yang kuat. Karena hampir semua literatur yang ada, semuanya bercampur aduk antara Hadith yang sahih, hasan dan da’if, sehingga sangat menyulitkan bagi orang yang ingin mendalami bahasan-bahasan tertentu untuk membedakan antara hadith-hadith sahih dan lainnya. Selain itu, juga literatur yang ada belum mengelompokkan pokok-pokok bahasan tertentu bab demi bab, karena tujuan utama penulisannya adalah ‘masih sekedar’ untuk mengumpulkan Hadith dan sebagai sarana untuk menghafalkannya bagi umat.
Selain itu, adanya unsur ‘meremehkan’ Fiqh al-Hadith dan segala yang berkaitan dengannya, dari lafaz, ma’na dan fawaid yang terdapat dalam hadith-hadith pada sebagian ahli hadith dan rawi. Hal ini membawa implikasi pada lemahnya ahli-ahli hadith ketika harus berhadapan dengan ahli-ahli bid’ah yang sengaja menyebarkan hadith-hadith da’if bahkan hadith-hadith palsu di dalam berargumentasi. Hal ini sangat mempengaruhi Imam Bukhari untuk segera mencari solusi atas masalah yang sangat berdampak negatif terhadap umat. Terlebih setelah ia melihat banyaknya ahli-ahli yang mulai lebih mengutamakan logika sekalipun menyalahi sunnah yang datang dari Rasulullah saw.
Selain dari faktor-faktor tersebut di atas, faktor penting lainnya yang memotivasi Imām al-BukhªrÌ adalah ucapan gurunya Ishaq ibn Rahawaih, yaitu “Tulislah sebuah kitab kecil tentang hadith sahih Rasulullah SAW”. Bukhari mengatakan: “Perkataan guruku itu ternyata sangat menyentuh hatiku, maka aku mulai untuk menuliskan buku tersebut. Lihat Nani Endri Santi, “Imam Al-Bukhari dan Kitab Sahih Bukhari” dalam http://istanailmu.com/2011/03/20/imam-al-bukhari-dan-kitab-sahih-bukhari/html, diakses 4 November 2011.
[12] Rahman , Ikhtishar Mushthalahu’l Hadits, 377-378.
[13]Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah hadith yang terdapat dalam Sahih Bukhari. Menurut penelitian ‘Azami, ada 9.082 hadith yang dimuat Imam al-Bukhari ke dalam kitab Sahih-nya, dan apabila dihitung tanpa memasukkan hadith yang berulang, maka jumlahnya adalah 2.602 hadith. Jumlah ini tidak termasuk di dalamnya hadith mauquf dan hadith Maqtu’. Sementara itu, menurut Ibnu Shalah dan Imam an-Nawawi, kitab ini memuat 7.275 buah hadith, dengan adanya pengulangan, dan bila tidak diulang jumlahnya hanya 4.000 buah.
Dalam menyeleksi hadith-hadith yang akan dimuat dalam kitabnya, Bukhari sangat cermat dan teliti, sehingga dari 600.000 hadith yang ia dapatkan hanya 4.000 saja yang dimuat. Diriwayatkan bahwa karena kehati-hatiannya, setiap kali hendak menulis hadith al-Bukhari selalu mandi dulu dan shalat istikharah dua raka’at untuk meyakinkan bahwa hadith yang akan ditulisnya itu benar-benar sahih. Hal tersebut terlihat dari pernyataan al-Bukhari sendiri, sebagai berikut:
قال إبراهيم: و سمعته يقول: ما أدخلت في كتابي الصحيح إلا ما صح
قال محمد بن إسماعيل : ما وضعت في كتابي الصحيح حديثا إلا اغتسلت قبل ذلك وصليت ركعتين.

Ibrahim berkata: “Saya mendengar dia (Bukhari) berkata: Saya tidak masukkan ke dalam kitab Sahihku kecuali Hadith yang sahih”. Muhammad ibn Ismail (al-Bukhari) berkata:” Aku tidak akan memasukkan satu Hadith pun kedalam kitab sahihku kecuali setelah aku mandi dan shalat dua rakaa’at sebelumnya.”. Untuk lebih lanjut lihat Santi, “Imam Al-Bukhari dan Kitab Sahih Bukhari” dalam http://istanailmu.com/2011/03/20/imam-al-bukhari-dan-kitab-sahih-bukhari/html, diakses 4 November 2011.

[14] Lihat Marzuki, “Kritik Terhadap Kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim”, 31-31. Marzuki mengutip dari Muhammad Abu Syahbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shahhah al-Sittah (Kairo: al-Buhuts al-Islamiyyah, 1969), 79.
[15] Metode Jami’; kata Jami’ berarti sesuatu yang mengumpulkan, menggabungkan, dan mencakup. Dalam disiplin ilmu hadith, kitab Jami’ adalah kitab hadith dimana metode penyusunannya mencakup seluruh topic-topik dalam agama. Untuk lebih lanjut lihat Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 78.
[16] M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 126.

[17]Nani Endri Santi, “Imam Al-Bukhari dan Kitab Sahih Bukhari” dalam http://istanailmu.com/2011/03/20/imam-al-bukhari-dan-kitab-sahih-bukhari/html, diakses 4 November 2011.

[18]Kritik hadis merupakan upaya penyeleksian hadith-hadith antara hadith yang sahih dengan hadith yang ḍa’if dan meneliti para periwayatnya, apakah dapat dipercaya dan  kuat ingatannya (thiqah) atau tidak. Kritik  hadith sebenarnya sudah dimulai sejak Nabi Muhammad SAW. masih hidup, namun lingkupnya masih sangat terbatas dan motivasinya juga berbeda dengan kritik hadith pada masa-masa belakangan.
[19]Lihat Arifin, Studi Kitab Hadith,104. Dia mengutip dari Shihab al-Din Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani, Hady al-Sari Muqaddimah Fath al-Bari’ (Mesir: Musthafa al-Babi al Halabi wa Auladuh, 1963), 364-365.
[20] Lihat Arifin, Studi Kitab Hadith, 104-105. Dia mengutip dari pendapat Ahmad Amin, Duh al-Islam (Mesir: Maktabah al-Nahdah al-Mishriyah, t.t.), 115-117.
[21]Lihat Santi , “Imam Al-Bukhari dan Kitab Sahih Bukhari” dalam http://istanailmu.com/2011/03/20/imam-al-bukhari-dan-kitab-sahih-bukhari/html, diakses 4 November 2011.
[22] Ibid.